All Posts (144)

  • Kasih Sayang Islâm kepada Kaum Perempuan

    Penulis: Al-Ustâdz Abû ‘Abdillâh Muhammad Yahyâ

    Dahulu, kaum jahiliyah sangat merendahkan dan menghina kaum perempuan. Diantara perbuatan mereka adalah mengubur anak perempuan hidup-hidup. Allah telah mencela mereka karena perbuatan biadab tersebut, Allah berfirman:

    يَتَوَارَى مِن الْقَوْمِ مِن سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ (النحل: ٥٩)

    Artinya: Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu. An-Nahl: 59.

    Nabi shallallahu `alaihi wasallam pernah shalat mengimami jamaah dengan menggendong Umamah putri Zainab bintu Rasulillah shallallahu `alaihi wasallam untuk mengajari manusia bahwa perbuatan seperti ini dibolehkan di dalam shalat jika diperlukan dan untuk melunakan watak keras jahiliyah yang dibangun diatas kesombongan dan kecongkakan. Sebab bangsa Arab saat itu kasar terhadap anak wanita bahkan mereka menguburnya hidup-hidup.

    عَنْ أَبِي قَتَادَةَ الأَنْصَارِيِّ : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ كَانَ يُصَلِّي وَهُوَ حَامِلٌ أُمَامَةَ بِنْتَ زَيْنَبَ بِنْتِ رَسُوْلِ اللهِ ، وَلأَبِي العَاصِ بنِ الرَّبِيْعِ بنِ عَبْدِ شَمْسٍ, فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَهَا، وَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا([۱]

    Dari Abu Qatadah Al Anshari radhiallahu ‘anhu bahwa Rasululah shallallahu `alaihi wasallam pernah shalat sambil menggendong Umamah, putri Zainab bintu Rasulillah shallallahu `alaihi wasallam dan Abul Ash bin Rabi’ bin Abdu Syams. Jika sujud, beliau meletakkannya dan jika berdiri, beliau menggendongnya.

    Maka celaka dan celaka bagi orang yang menanggap bahwa syariat Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam sewenang-wenang terhadap hak wanita, padahal diantara mereka ada yang mengaku muslim.

    Seandainya masih ada orang yang memberikan pemahaman kepada mereka bahwa agama yang benar, adil dan menjaga kemaslahatan dan hak-hak individu adalah Islam. Dan apa yang mereka ucapkan, lihat dan dengar dari ajaran Timur dan Barat adalah berasal dari akal yang sakit, hati yang terbalik dan pandangan yang menyimpang. Tiada pengendalinya selain hawa nafsu dan setan.

    Syaikhuna Ahmad bin Yahya An-Najmi hafizhahullah berkata:

    Islam datang menabur ke dalam hati-hati pemeluknya dengan benih-benih cinta dan kasih sayang terhadap anak-anak perempuan serta menjanjikan kebaikan atas semua itu.

    Ahmad dan Ibnu Majah telah meriwayatkan dari Uqbah bin Amir secara marfu’:

    ((مَنْ كَانَ لَهُ ثَلاَثُ بَنَاتٍ فَصَبَرَ عَلَيْهِنَّ وَأَطْعَمَهُنَّ وَسَقَاهُنَّ وَكَسَاهُنَّ مِنْ جِدَتِهِ، كُنَّ لَهُ حِجَاباً مِنَ النَّارِ يَوْمَ القِيَامَةِ))(۲)

    Artinya: “Barangsiapa memiliki tiga anak perempuan, kemudian bersabar terhadap mereka, memenuhi kebutuhan makan, minum, pakaian mereka dari jerih keringatnya, maka ketiganya akan menjadi tameng baginya dari api neraka.”

    Kemudian yang wajib bagi para wali adalah berakhlak dengan adab-adab Islam dan mendidik anak-anak perempuannya dengan adab Islam, agar mereka menjadi anggota masyarakat yang shalihah. Pembinaan dan pendidikan ini tidak kurang kewajibannya dari kewajiban memberi nafkah, pakaian dan tempat tinggal yang menjadi kewajiban setiap wali terhadap yang menjadi tanggungjawabnya. Maksudnya, pembinaan tersebut harus berupa bekal ilmu agama.

    Adapun mengejar gelar tinggi untuk mencapai karir dan tidak menikah dan (atau) enggan mendapatkan anak dan tidak melaksanakan pekerjaan rumah yang menjadi keharusannya untuk tetap di dalamnya -agar dia menjadi tempat berlabuh bagi suaminya dan menjadi pendidik anak-anaknya-, maka yang demikian ini tidak terpuji. Sebab dia telah meninggalkan tugas islami yang karenanya perempuan itu diciptakan.

    Dalam hal ini terdapat beberapa peringatan.

    Peringatan pertama: Sesungguhnya yang demikian itu (termasuk) meninggalkan tugas dasar yang karenanya wanita itu diciptakan dan dipersiapkan. Yaitu menjadi tempat berlabuh sang suami yang menambatkan hati kepadanya dan dia menambatkan hati kepada sang suami. Allah Ta’ala berfirman:

    وَمِن آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِن أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآياتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (الروم :۲۱)

    Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian isteri-isteri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. Ar-Rum: 21.

    Sesungguhnya ayat ini adalah bukti terbesar yang menunjukkan bahwa seorang lelaki tidak akan lurus keadaannya dan tidak merasakan indahnya kehidupan melainkan dengan kehidupan rumah tangga yang mulia, demikian pula wanita.

    Peringatan kedua: Enggan mendapatkan anak dan keturunan. Keturunan adalah anak-anak, dimana kehidupan rumah tangga tidak terasa indah melainkan dengan keberadaan mereka. Dan Nabi shallallahu `alaihi wasallam telah bersabda:

    ((تَزَوَّجُوا الوَدُوْدَ الوَلُوْدَ, فَإِنِّي مُكَاثِرُ بِكُمُ الأُمَمَ))

    Artinya: “Nikahilah wanita yang penyayang dan subur, sesungguhnya saya bangga dengan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat.”

    Perempuan, bagaimana-pun gelar yang dicapainya, sesungguhnya kehidupannya tidaklah indah kecuali dengan keberadaan anak-anak lelaki dan perempuan.

    Saya pernah mendengar bahwa sesungguhnya ada seorang perempuan yang telah menempuh studinya dan berjenjang meraih berbagai gelar sampai dia meraih yang tertinggi. Dan ujung-ujungnya dia berkata: “Ambillah seluruh gelar saya ini dan berikanlah anak untuk saya agar saya bisa bermain-main dengan mereka.”

    Sesungguhnya Allah telah menciptakan para perempuan agar mereka menjadi ibu yang mendidik dan pengasuh yang handal. Apabila dia keluar dan meninggalkan tugas ini, niscaya dia akan menyesal setelah itu dan menginginkannya setelah hilang ditelan waktu dan berlalunya masa muda. Fallaahul musta’aan.

    Peringatan ketiga: Meninggalkan rumah tanpa penjaga yang amanah dan pengatur yang bijak yang dapat mendatangkan kebaikan kepadanya dan keluarganya serta membentengi dari kerusakan.

    Allahu Subhanahu telah memerintahkan para perempuan untuk tetap tinggal di rumah-rumah. Dan seorang istri tidaklah menjadi tempat berlabuh bagi suaminya melainkan jika dia tetap tinggal di rumah, mendidik anak-anak, memelihara rumah mengatur segala urusan rumah dan mempersiapkan kebutuhan suami di dalamnya.

    Peringatan keempat: Bahwa yang demikian adalah bertentangan dengan fitrah dan kodrat yang telah ditetapkan oleh Allah kepada para wanita dengan hikmah yang diketahui-Nya. Secara fisik perempuan telah disiapkan untuk tinggal di rumah dan di dalam lingkungan rumah tangga. Jika dia mengeluarkan dirinya dari lingkungan ini, maka dia bermaksiat kepada Penciptanya dan durhaka kepada masyarakatnya.

    Jadilah dia menyimpang dengan berpaling dari perintah yang karenanya dia diciptakan. Oleh sebab itu, terdapat di dalam hadits:

    ((لَعَنَ اللهُ المُتَرَجِّلاَتِ مِنَ النِّسَاءِ، وَالمُخَنِّثِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ))

    Artinya: “Allah melaknat kaum perempuan yang menyerupai lelaki dan kaum lelaki yang menyerupai perempuan.”

    Sebab masing-masing mereka telah keluar dari fitrah yang telah ditetapkan dan ingin menetapkan fitrahnya sendiri tanpa sesuai dengan yang telah Allah tetapkan kepadanya

    Terakhir, sesungguhnya barangsiapa yang menghalangi anak perempuannya dari pernikahan syar’i, maka dia telah berbuat kejahatan yang besar kepadanya dan menjerumuskannya ke dalam perbuatan keji serta mengharamkannya mendapatkan indahnya suami, rumah tangga dan anak-anak.

    Dan tidaklah dia menanti melainkan kemurkaan dari Allah dan kerendahan di dunia atau di akherat atau kedua-duanya. Wabillahit-taufiq. Selesai.

    Abu Abdillah Muhammad Yahya
    20 Dzulqa’dah 1428 H/29 November 2007M
    Nijamiyah-Shamithah-Jazan
    KSA

    ___________

    (۱)ديث أبي قتادة أخرجه البخاري في سترة المصلي، باب: إِذَا حمل جارية صغيرة على عنقه رقم الحديث (٥١٦)، وأخرجه في الأدب رقم (٥۹۹٦)، وأخرجه مسلم في المساجد، باب: جواز حمل الصبيان في الصلاة. رقم (٥٤٣)، وأخرجه مالك أيضاً في الموطأ، باب: جامع الصلاة (1/170)، وأبو داود في الصلاة، باب: العمل في الصلاة (٩١٧)، والنسائي في المساجد باب : إدخال الصبيان في المساجد.

    (۲)صحيح الجامع الصغير وزياداته رقم (٦٣٦٤).

    Sumber : Sumber: http://www.darussalaf.org/stories.php?id=1015

    Read more…
  • Propaganda Emansipasi Wanita

    Penulis: Asy Syaikh Hasyim bin Hamid ‘Ajil Ar Rifa’iy

    Propaganda Emansipasi wanita adalah lagu lama, yang dihembuskan oleh musuh-musuh Islam untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin, ketika mereka melihat Islam adalah agama yang sempurna dan pemeluknya sangat teguh memegangnya. Selama kaum muslimin, terutama kaum wanitanya konsekuen dengan agama dan sunnah Nabi-Nya, maka kehidupan mereka akan baik dan bersih, serta mengetahui seluk belum musuh.

    Propaganda Emansipasi wanita adalah lagu lama, yang dihembuskan oleh musuh-musuh Islam untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin, ketika mereka melihat Islam adalah agama yang sempurna dan pemeluknya sangat teguh memegangnya. Selama kaum muslimin, terutama kaum wanitanya konsekuen dengan agama dan sunnah Nabi-Nya, maka kehidupan mereka akan baik dan bersih, serta mengetahui seluk belum musuh.

    Ini semua membuat musuh-musuh Islam khususnya Yahudi dan Nasrani benci. Maka disebarkanlah faham baru ini untuk memecah-belah umat Islam, memperluas kerusakan di antara mereka, mengeluarkan para wanita dari rumah-rumah pingitan dan menghilangkan rasa malunya, sehingga mudah bagi mereka menguasai dunia Islam dan menghinakan kaum muslimin.

    lnilah yang terjadi, kaum muslimin tanpa berfikir mengekor di belakang propaganda ini terutama kaum wanitanya. Kondisi kita sekarang merupakan bukti apa yang telah saya paparkan di atas.

    Maka kita mohon kepada Allah Subhanahu wa ta’ala keselamatan dan penjagaan terhadap agama dan keluarga kita, karena protokol-protokol Zeonis menyatakan :
    “Kita wajib berusaha memperluas kerusakan akhlak di setiap penjuru (negara-negara Islam) agar dengan mudah menguasai mereka” Glastone, seorang Inggris yang fanatik menyatakan :

    “Tidak mungkin menguasai negara-negara Timur (negara-negara Islam) selama kaum wanitanya tidak menanggalkan hijab dari wajahnya, menutup Al Qur’an dari mereka, mendatangkan minuman-minuman keras dan ekstasi, pelacuran, serta kemungkaran-kemungkaran lain yang melemahkan agama Islam”.

    Coba saudara perhatikan dan renungkan dengan cermat rencana / perkataan mereka.
    Sesungguhnya yang mereka inginkan bukanlah emansipasi wanita itu sendiri, karena Allah telah mengangkat dan memuliakan derajat kaum wanita dengan sempurna (dalam Islam), akan tetapi yang mereka kehendaki adalah kerusakan dari agama yang agung ini dan cerai-berainya umat untuk dijadikan budak dan pelayan mereka.
    Yang demikian ini telah disebutkan dalam Taurat, yang sudah dirubah-rubah oleh tangan mereka.

    Maka waspadalah wahai saudaraku seagama, terhadap bahaya propaganda-propaganda seperti ini, pegang teguhlah agama Allah Subhanahu wa ta’ala dengan erat, dan berjalanlah di atas sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebaik-baik makhluk semuanya.

    Untuk merealisir impiannya yang sia-sia dan menyebarkan propaganda yang jahat ini di kalangan umat Islam, khususnya kaum wanitanya, dengan segala daya dan upaya mereka telah mempersiapkan bala tentaranya. Mereka memiliki pembantu-pembantu baik pria maupun wanita. (Ironisnya) semua ini dibiayai oleh umat Islam yang dermawan. Maka tampillah orang laki-laki dan wanita melaksanakan niat jahat ini di bawah pimpinan “Persatuan Yahudi Internasional dan Salibisme”, seperti :

    1. Marcos Fahmi, Nasrani ; menerbitkan bukunya yang berjudul “Wanita Timur Tahun 1894 M”. Menyerukan wajibnya menanggalkan hijab kaum wanita, pergaulan bebas, talak dengan syarat-syarat tertentu, dan larangan kawin lebih dari satu orang.
    2. Huda Sya’rawi, seorang wanita didikan Eropa yang setuju dengan tuan-tuannya (Godfather-nya) untuk mendirikan Persatuan Isteri-Isteri Mesir, sasarannya adalah persamaan hak talak seperti suami, larangan poligami, kebebasan wanita tanpa hijab dan pergaulan bebas.
    3. Ahli Syair, Jamil Sidqi Az Zuhawis.
    Dalam syairnya, ia menyuruh para wanita Iraq membuang dan membakar hijab, bergaul bebas dengan pria, dan menyatakan bahwa hijab itu adalah merusak dan merupakan penyakit dalam masyarakat.

    Demikianlah, mereka mensifati seruan Allah Subhanahu wa ta’ala (kepada kaum wanita) untuk menutup tubuh, berhijab, menjaga kehormatan dan membersihkan diri dari penyakit-penyakit yang merusak, sementara mereka menentang kekuasaan dan ciptaan-Nya.

    Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman :

    “Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah”. (QS Al A’raf : 54).

    Berkata Ibnu Katsir dalam tafsirnya, maksudnya adalah :
    Milik Allahlah kerajaan dan hanya Allahlah yang berhak mengatur.

    “Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang karnu lahirkan dan rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui (QS Al Mulk : 14).

    Maksudnya : Mungkinkah Sang Pencipta tidak mengetahui? Ada juga yang mengatakan ” Mungkinlah Allah tidak mengetahui makhluk-Nya? (lbnu Katsir dalam tafsirnya).

    Akan tetapi, kemana orang-orang yang hidup ini akan lari (dari pengawasan Allah, pent) apabila mereka tidak memperbaiki diri dengan taubat nasuhah (taubat dengan sungguh-sungguh). Orang-orang seperti ini banyak kita jumpai sampai hari ini.

    Mereka hidup gembira ria menyebarkan kerusakan, kekejian serta menentang nilai-nilai kebaikan dan perintah-perintah Allah Azza wa Jalla.

    (Jika ingin mengetahui lebih luas tentang hal ini) silahkan membaca buku “Al Harokatun Nisaiyah wa Shilatiha bil isti’maar”, karangan Muhammad Athiyah Khumais. Begitu juga tulisan-tulisan yang membahas permasalahan ini telah jelas dan gamblang faktanya, berupa tuduhan-tuduhan musuh-musuh Islam dengan berbagai macam tipu daya kepada kita dan agama Islam, sementara kita lengah dan terus disibukkan oleh syahwat dan memperoleh kesenangan dunia. Maka waspadalah, bangunlah kalian dari tidur dan hadapilah bahaya besar ini.

    Wahai Saudariku Muslimah…

    Saya berdoa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, semoga Allah Subhanahu wa ta’ala mengembalikan anda kepada agama Islam dengan baik, memegang teguh syariat-Nya, menghiasi diri dengan rasa malu, dan senantiasa berpakaian yang Islami. Saya sangat mencintai dan sayang kepadamu. Dan sebagai penasihat yang tidak menghendaki apa-apa kecuali balasan pahala dan ridla Allah, Rabb di atas segala yang dituhankan.
    Janganlah kalian berbaris di belakang propaganda palsu ini yang hanya merupakan fatamorgana bagi yang haus. Bagaimana tidak, padahal engkau telah mengetahui hakekat ajaran ini. Sementara yang mereka serukan menjadikanmu sebagai barang dagangan murah, sehingga mereka dapat menikmati tubuhmu, padahal Allah ta’ala menghendaki agar hal itu ditutup dan dijaga. Ketahuilah wahai saudariku muslimah, bahwa semua yang tertutup itu disenangi dan dicintai-Nya.

    Karena itulah Allah ta’ala memerintahkan anda untuk berhijab dan menutup (aurat). Dia menciptakan kamu dari mani, dan menjadikan kamu dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Apakah kebaikan-Nya engkau balas dengan kejelekan, dengan merusak dan membuang jauh-jauh syariat-Nya, serta menolak perintah-perintah-Nya?
    Maka kembalilah anda ke jalan yang lurus, semoga Allah Subhanahu wa ta’ala memberkahimu, dan janganlah mengikuti langkah-langkah syaitan, karena anda akan menjadi penghuni neraka.

    Marilah kita bersama menyingsingkan lengan dengan sungguh-sungguh, menyebarluaskan keutamaan, dan bersatu padu memerangi kebejatan moral, membangun masyarakat yang beradab, bersih dan suci. Anda adalah pendamping pria dalam kehidupan. Perjuangan tidaklah sempurna kecuali dengan anda, di samping pertolongan Allah. Anda adalah isteri shalihah yang baik, sekaligus sebagai ibu, teladan dan sekolah untuk membentuk generasi penegak panji Islam; dan suami anda menginginkan anda menjadi tangan kanannya, menghilangkan segala kelelahan dan penghibur di kala susah. Begitulah keadaan isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan isteri-isteri para shahabat, semoga Allah Subhanahu wa ta’ala meridlai mereka semua. Amin.

    Berkata seorang penyair :
    Tirulah mereka, walaupun tidak dapat seperti mereka (para shahabat). Sungguh meniru orang-orang mulia itu adalah suatu kemenangan.
    Saudariku muslimah, coba pikirkan propaganda yang katanya untuk “kebebasan” anda itu. Terangkan pada saya kebebasan apa yang diberikan dan kebahagiaan apa yang anda peroleh?

    Sedang wanita Barat sendiri sudah muak dan bosan dengan kebebasan palsu ini, dan penganiayaan kaum pria terhadap mereka dengan semboyan-semboyan kemajuan. Wanita dijadikan barang dagangan dengan harga murah. Mereka memperdagangkan wanita melalui promosi dan siaran-siaran, untuk mendapatkan keuntungan dunia yang fana ini.

    Dan sekarang para wanitanya insaf, sadar dan meneriakkan kata-kata untuk kembali ke rumah tangga; hidup sebagai ibu dan sekaligus sebagai isteri yang tenang, jauh dari kelelahan bekerja dan campur baur dengan pria.
    Demikianlah apa yang terjadi pada wanita di negara-negara Barat, yang hanya dijadikan “komoditi” untuk mencari harta dan ketenaran, dan isteri sebagai barang dagangan yang tidak ada harga dan kehormatannya.
    Maka janganlah anda menjadi begitu. Menghindarlah sejauh-jauhnya dari faham-faham seperti ini, sebelum anda terkena perangkap, lalu sukar untuk keluar lagi.

    Referensi: Buku “Membina Keharmonisan Berumah Tangga Menurut Al Qur’an dan Sunnah dan Bahaya Emansipasi Wanita” Hal. 15-22 Penerbit Cahaya Tauhid Press, Malang)

    Sumber : http://www.darussalaf.or.id/index.php?name=News&file=article&sid=343

    Read more…
  • Wanita Juga Bisa Menjadi Sumber Petaka

    Sepertinya sabda Rasullah yang mulia dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim di mana beliau bersabda benar adanya. “Tidak pernah kutinggalkan sepeninggalku godaan yang lebih besar bagi kaum lelaki daripada wanita,” (HR. Bukhari Muslim).

    Ya, Allah SWT sudah menganugerahkan keindahan kepada kaum wanita hingga membuat kaum pria tertarik padanya. Namun, syariat yang suci ini tidak memperkenankan keindahan itu diobral seperti layaknya barang dagangan di etalase atau di emperan toko. Justru kenyataan yang kita jumpai saat ini kaum wanita menjadi sumber fitnah bagi laki-laki. Di jalan-jalan, di acara TV atau di VCD para wanita mengumbar aurat seenaknya bak kontes kecantikan yang melombakan keindahan tubuh, sehingga seolah-olah tidak ada siksa dan tidak kenal apa itu dosa.

    Seperti itulah realitanya, wanita menjadi sumber godaan yang banyak membuat kaum pria bertekuk lutut dan terbenam dalam lumpur yang dibuat oleh setan untuk menenggelamkannya. Usaha-usaha kaum adam untuk menggoda sang hawa pun berbeda-beda, bisa secara halus, bisa juga tidak, baik disadari maupun tidak, secara terang-terangan maupun berkedok seni. Seperti kisah Nabi Yusuf as yang digoda secara terang-terangan untuk melakukan tindakan yang tidak pantas oleh istri pembesar Mesir, seketika itu Nabis Yusuf as pun langsung menolak dan berucap, “Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukanku dengan baik.” (QS. Yusuf: 23).

    Muhammad bin Ishaq pernah bercerita, As-Sirri pernah melewati sebuah jalan di kota Mesir. Karena tahu dirinya menarik, wanita ini berkata, “Aku akan menggoda lelaki ini.” Maka wanita itu membuka wajahnya dan memperlihatkan dirinya di hadapan As-Sirri. Beliau lantas bertanya, “Ada apa denganmu?” Wanita itu berkata, “Maukah anda merasakan kasur yang empuk dan kehidupan yang nikmat?” Beliau malah kemudian melantunkan syair,”Berapa banyak pencandu kemaksiatan yang mereguk kenikmatan dari wanita-wanita itu, namun akhirnya ia mati meninggalkan mereka untuk merasakan siksa yang nyata. Mereka menikmati kemaksiatan yang hanya sesaat, untuk merasakan bekas-bekasnya yang tak kunjung sirna. Wahai kejahatan, sesungguhnya Allah melihat dan mendengar hamba-Nya, dengan kehendak Dia pulalah kemaksiatan itu tertutupi jua.” (Roudhotul Muhibbin wa Nuzhatul Musytaqin, karya Ibnul Qayyim).

    Perhatikanlah bagaimana Rasulullah telah mewanti-wanti kepada kita semua melalui sabda beliau, “Hati-hatilah pada dunia dan hati-hatilah pada wanita karena fitnah pertama bagi Bani Isroil adalah karena wanita.” (HR. Muslim). Kini, di era globalisasi, ketika arus informasi begitu deras mengalir, godaan begitu gampang masuk ke rumah-rumah kita. Cukup dengan membuka surat kabar dan majalah, atau dengan mengklik tombol remote control, godaan pun hadir di tengah-tengah kita tanpa permisi, menampilkan wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok memamerkan aurat yang semestinya dijaga.

    Beberapa muslimah pun lantas ikut terbawa dengan propaganda gaya hidup seperti itu. Dilepasnya pakaian kehormatan, dan diganti dengan pakaian-pakaian ketat yang membentuk lekuk tubuh, tanpa merasa risih. Godaan pun semakin kencang menerpa, dan pergaulan bebas menjadi hal biasa. Maka, kita perlu merenungkan dua bait syair yang diucapkan oleh Sufyan Ats-Tsauri: “Kelezatan-kelezatan yang didapati seseorang dari yang haram, toh akan hilang juga, yang tinggal hanyalah aib dan kehinaan, segala kejahatan akan meninggalkan bekas-bekas buruk, sungguh tak ada kebaikan dalam kelezatan yang berakhir dengan siksaan dalam neraka,”.

    Seorang ulama yang masyhur, Ibnul Qayyim pun memberikan nasihat yang sangat berharga: “Allah Subhanahu wa ta’ala telah menjadikan mata itu sebagai cerminan hati. Apabila seorang hamba telah mampu meredam pandangan matanya, berarti hatinya telah mampu meredam gejolak syahwat dan ambisinya. Apabila matanya jelalatan, hatinya juga akan liar mengumbar syahwat..”

    Wallahul Musta’an.

    Sumber : http://muslim.or.id

    Read more…
  • Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah

    Berbekal pengetahuan tentang Islam yang tipis, tak sedikit kalangan yang dengan lancangnya menghakimi agama ini, untuk kemudian menelorkan kesimpulan-kesimpulan tak berdasar yang menyudutkan Islam. Salah satunya, Islam dianggap merendahkan wanita atau dalam ungkapan sekarang ‘bias jender’. Benarkah?

    Sudah kita maklumi keberadaan wanita dalam Islam demikian dimuliakan, terlalu banyak bukti yang menunjukkan kenyataan ini. Sampai-sampai ada satu surah dalam Al-Qur`anul Karim dinamakan surah An-Nisa`, artinya wanita-wanita, karena hukum-hukum yang berkaitan dengan wanita lebih banyak disebutkan dalam surah ini daripada dalam surah yang lain. (Mahasinut Ta`wil, 3/6)

    Untuk lebih jelasnya kita lihat beberapa ayat dalam surah An-Nisa` yang berbicara tentang wanita.

    1. Wanita diciptakan dari tulang rusuk laki-laki.

    Surah An-Nisa` dibuka dengan ayat:

    يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً

    “Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu dan dari jiwa yang satu itu Dia menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Dia memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (An-Nisa`: 1)

    Ayat ini merupakan bagian dari khutbatul hajah yang dijadikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembuka khutbah-khutbah beliau. Dalam ayat ini dinyatakan bahwa dari jiwa yang satu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan pasangannya. Qatadah dan Mujahid rahimahumallah mengatakan bahwa yang dimaksud jiwa yang satu adalah Nabi Adam ‘alaihissalam. Sedangkan pasangannya adalah Hawa. Qatadah mengatakan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. (Tafsir Ath-Thabari, 3/565, 566)

    Dalam hadits shahih disebutkan:

    إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلْعٍ، وَِإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلْعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهَا، وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ وَفِيْهَا عِوَجٌ

    “Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk. Dan sungguh bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah yang paling atasnya. Bila engkau ingin meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Dan jika engkau ingin bersenang-senang dengannya, engkau bisa bersenang-senang namun padanya ada kebengkokan.” (HR. Al-Bukhari no. 3331 dan Muslim no. 3632)

    Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini ada dalil dari ucapan fuqaha atau sebagian mereka bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk. Hadits ini menunjukkan keharusan berlaku lembut kepada wanita, bersikap baik terhadap mereka, bersabar atas kebengkokan akhlak dan lemahnya akal mereka. Di samping juga menunjukkan dibencinya mentalak mereka tanpa sebab dan juga tidak bisa seseorang berambisi agar si wanita terus lurus. Wallahu a’lam.”(Al-Minhaj, 9/299)

    2. Dijaganya hak perempuan yatim.

    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

    وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُوا

    “Dan jika kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bilamana kalian menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita lain yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk kalian tidak berlaku aniaya.” (An-Nisa`: 3)

    Urwah bin Az-Zubair pernah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى maka Aisyah radhiyallahu ‘anha menjawab, “Wahai anak saudariku1. Perempuan yatim tersebut berada dalam asuhan walinya yang turut berserikat dalam harta walinya, dan si wali ini ternyata tertarik dengan kecantikan si yatim berikut hartanya. Maka si wali ingin menikahinya tanpa berlaku adil dalam pemberian maharnya sebagaimana mahar yang diberikannya kepada wanita lain yang ingin dinikahinya. Para wali pun dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim terkecuali bila mereka mau berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim serta memberinya mahar yang sesuai dengan yang biasa diberikan kepada wanita lain. Para wali kemudian diperintah untuk menikahi wanita-wanita lain yang mereka senangi.” Urwah berkata, “Aisyah menyatakan, ‘Setelah turunnya ayat ini, orang-orang meminta fatwa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perkara wanita, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat:

    وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ

    “Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita.” (An-Nisa`: 127)

    Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat yang lain:

    وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ

    “Sementara kalian ingin menikahi mereka (perempuan yatim).” (An-Nisa`: 127)

    Salah seorang dari kalian (yang menjadi wali/pengasuh perempuan yatim) tidak suka menikahi perempuan yatim tersebut karena si perempuan tidak cantik dan hartanya sedikit. Maka mereka (para wali) dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim yang mereka sukai harta dan kecantikannya kecuali bila mereka mau berbuat adil (dalam masalah mahar, pent.). Karena keadaan jadi terbalik bila si yatim sedikit hartanya dan tidak cantik, walinya enggan/tidak ingin menikahinya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 4574 dan Muslim no. 7444)

    Masih dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

    وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ قُلِ اللهُ يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ وَمَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ فِي يَتَامَى النِّسَاءِ اللاَّتِي لاَ تُؤْتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ

    Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita. Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepada kalian tentang mereka dan apa yang dibacakan kepada kalian dalam Al-Qur`an tentang para wanita yatim yang kalian tidak memberi mereka apa yang ditetapkan untuk mereka sementara kalian ingin menikahi mereka.” (An-Nisa`: 127)

    Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

    أُنْزِلَتْ فِي الْيَتِيْمَةِ، تَكُوْنُ عِنْدَ الرَّجُلِ فَتَشْرِكُهُ فِي مَالِهِ، فَيَرْغَبُ عَنْهَا أَنْ يَتَزَوَّجَهَا وَيَكْرَهُ أَنْ يُزَوِّجَهَا غَيْرَهُ، فَيَشْرَكُهُ فِي ماَلِهِ، فَيَعْضِلُهَا، فَلاَ يَتَزَوَّجُهَا وَيُزَوِّجُهَا غَيْرَهُ.

    “Ayat ini turun tentang perempuan yatim yang berada dalam perwalian seorang lelaki, di mana si yatim turut berserikat dalam harta walinya. Si wali ini tidak suka menikahi si yatim dan juga tidak suka menikahkannya dengan lelaki yang lain, hingga suami si yatim kelak ikut berserikat dalam hartanya. Pada akhirnya, si wali menahan si yatim untuk menikah, ia tidak mau menikahinya dan enggan pula menikahkannya dengan lelaki selainnya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 5131 dan Muslim no. 7447)

    3. Cukup menikahi seorang wanita saja bila khawatir tidak dapat berlaku adil secara lahiriah.

    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

    فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ

    “Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki.” (An-Nisa`: 3)

    Yang dimaksud dengan adil di sini adalah dalam perkara lahiriah seperti adil dalam pemberian nafkah, tempat tinggal, dan giliran. Adapun dalam perkara batin seperti rasa cinta dan kecenderungan hati tidaklah dituntut untuk adil, karena hal ini di luar kesanggupan seorang hamba. Dalam Al-Qur`anul Karim dinyatakan:

    وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ

    “Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kalian terlalu cenderung kepada istri yang kalian cintai sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” (An-Nisa`: 129)

    Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan ketika menafsirkan ayat di atas, “Maksudnya, kalian wahai manusia, tidak akan mampu berlaku sama di antara istri-istri kalian dari segala sisi. Karena walaupun bisa terjadi pembagian giliran malam per malam, namun mesti ada perbedaan dalam hal cinta, syahwat, dan jima’. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ‘Abidah As-Salmani, Mujahid, Al-Hasan Al-Bashri, dan Adh-Dhahhak bin Muzahim rahimahumullah.”

    Setelah menyebutkan sejumlah kalimat, Ibnu Katsir rahimahullah melanjutkan pada tafsir ayat: فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ maksudnya apabila kalian cenderung kepada salah seorang dari istri kalian, janganlah kalian berlebih-lebihan dengan cenderung secara total padanya, فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ “sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” Maksudnya istri yang lain menjadi terkatung-katung. Kata Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Al-Hasan, Adh Dhahhak, Ar-Rabi` bin Anas, As-Suddi, dan Muqatil bin Hayyan, “Makna كَالْمُعَلَّقَةِ, seperti tidak punya suami dan tidak pula ditalak.” (Tafsir Al-Qur`anil Azhim, 2/317)

    Bila seorang lelaki khawatir tidak dapat berlaku adil dalam berpoligami, maka dituntunkan kepadanya untuk hanya menikahi satu wanita. Dan ini termasuk pemuliaan pada wanita di mana pemenuhan haknya dan keadilan suami terhadapnya diperhatikan oleh Islam.

    4. Hak memperoleh mahar dalam pernikahan.

    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

    وَءَاتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا

    “Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari mahar tersebut dengan senang hati maka makanlah (ambillah) pemberian itu sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya.” (An-Nisa`: 4)

    5. Wanita diberikan bagian dari harta warisan.

    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

    لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا

    “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (An-Nisa`: 7)

    Sementara di zaman jahiliah, yang mendapatkan warisan hanya lelaki, sementara wanita tidak mendapatkan bagian. Malah wanita teranggap bagian dari barang yang diwarisi, sebagaimana dalam ayat:

    يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا

    “Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi wanita dengan jalan paksa.” (An-Nisa`: 19)

    Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menyebutkan, “Dulunya bila seorang lelaki di kalangan mereka meninggal, maka para ahli warisnya berhak mewarisi istrinya. Jika sebagian ahli waris itu mau, ia nikahi wanita tersebut dan kalau mereka mau, mereka nikahkan dengan lelaki lain. Kalau mau juga, mereka tidak menikahkannya dengan siapa pun dan mereka lebih berhak terhadap si wanita daripada keluarga wanita itu sendiri. Maka turunlah ayat ini dalam permasalahan tersebut.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 4579)

    Maksud dari ayat ini, kata Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah, adalah untuk menghilangkan apa yang dulunya biasa dilakukan orang-orang jahiliah dari mereka dan agar wanita tidak dijadikan seperti harta yang diwariskan sebagaimana diwarisinya harta benda. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 5/63)

    Bila ada yang mempermasalahkan, kenapa wanita hanya mendapatkan separuh dari bagian laki-laki seperti tersebut dalam ayat:

    يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُنْثَيَيْنِ

    “Allah mewasiatkan kepada kalian tentang pembagian warisan untuk anak-anak kalian, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan….” (An-Nisa`: 11)

    Maka dijawab, inilah keadilan yang sesungguhnya. Laki-laki mendapatkan bagian yang lebih besar daripada wanita karena laki-laki butuh bekal yang lebih guna memberikan nafkah kepada orang yang di bawah tanggungannya. Laki-laki banyak mendapatkan beban. Ia yang memberikan mahar dalam pernikahan dan ia yang harus mencari penghidupan/penghasilan, sehingga pantas sekali bila ia mendapatkan dua kali lipat daripada bagian wanita. (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/160)

    6. Suami diperintah untuk berlaku baik pada istrinya.

    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

    وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

    “Dan bergaullah kalian (para suami) dengan mereka (para istri) secara patut.” (An-Nisa`: 19)

    Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat di atas menyatakan: “Yakni perindah ucapan kalian terhadap mereka (para istri) dan perbagus perbuatan serta penampilan kalian sesuai kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat yang sama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam hal ini:

    وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

    “Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)

    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda:

    خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ

    “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarga (istri)nya. Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluarga (istri)ku.”2 (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/173)

    7. Suami tidak boleh membenci istrinya dan tetap harus berlaku baik terhadap istrinya walaupun dalam keadaan tidak menyukainya.

    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

    فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

    “Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19)

    Dalam tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an (5/65), Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ (“Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka”), dikarenakan parasnya yang buruk atau perangainya yang jelek, bukan karena si istri berbuat keji dan nusyuz, maka disenangi (dianjurkan) (bagi si suami) untuk bersabar menanggung kekurangan tersebut. Mudah-mudahan hal itu mendatangkan rizki berupa anak-anak yang shalih yang diperoleh dari istri tersebut.”

    Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Yakni mudah-mudahan kesabaran kalian dengan tetap menahan mereka (para istri dalam ikatan pernikahan), sementara kalian tidak menyukai mereka, akan menjadi kebaikan yang banyak bagi kalian di dunia dan di akhirat. Sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang ayat ini: ‘Si suami mengasihani (menaruh iba) istri (yang tidak disukainya) hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan rizki kepadanya berupa anak dari istri tersebut dan pada anak itu ada kebaikan yang banyak’.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)

    Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

    لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ

    “Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah, jika ia tidak suka satu tabiat/perangainya maka (bisa jadi) ia ridha (senang) dengan tabiat/perangainya yang lain.” (HR. Muslim no. 1469)

    Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan larangan (untuk membenci), yakni sepantasnya seorang suami tidak membenci istrinya. Karena bila ia menemukan pada istrinya satu perangai yang tidak ia sukai, namun di sisi lain ia bisa dapatkan perangai yang disenanginya pada si istri. Misalnya istrinya tidak baik perilakunya, tetapi ia seorang yang beragama, atau berparas cantik, atau menjaga kehormatan diri, atau bersikap lemah lembut dan halus padanya, atau yang semisalnya.” (Al-Minhaj, 10/58)

    8. Bila seorang suami bercerai dengan istrinya, ia tidak boleh meminta kembali mahar yang pernah diberikannya.

    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

    وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَءَاتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلاَ تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا. وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا

    “Dan jika kalian ingin mengganti istri kalian dengan istri yang lain sedang kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kalian mengambil kembali sedikitpun dari harta tersebut. Apakah kalian akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (An-Nisa`: 20-21)

    9. Termasuk pemuliaan terhadap wanita adalah diharamkan bagi mahram si wanita karena nasab ataupun karena penyusuan untuk menikahinya.

    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

    حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ اْلأَخِ وَبَنَاتُ اْلأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ

    “Diharamkan atas kalian menikahi ibu-ibu kalian, putri-putri kalian, saudara-saudara perempuan kalian, ‘ammah kalian (bibi/ saudara perempuan ayah), khalah kalian (bibi/ saudara perempuan ibu), putri-putri dari saudara laki-laki kalian (keponakan perempuan), putri-putri dari saudara perempuan kalian, ibu-ibu susu kalian, saudara-saudara perempuan kalian sepersusuan, ibu mertua kalian, putri-putri dari istri kalian yang berada dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri. Tetapi jika kalian belum mencampuri istri tersebut (dan sudah berpisah dengan kalian) maka tidak berdosa kalian menikahi putrinya. Diharamkan pula bagi kalian menikahi istri-istri anak kandung kalian (menantu)…” (An-Nisa`: 23)

    Diharamkannya wanita-wanita yang disebutkan dalam ayat di atas untuk dinikahi oleh lelaki yang merupakan mahramnya, tentu memiliki hikmah yang agung, tujuan yang tinggi yang sesuai dengan fithrah insaniah. (Takrimul Mar`ah fil Islam, Asy-Syaikh Muhammad Jamil Zainu, hal. 16)

    Di akhir ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

    وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ اْلأُخْتَيْنِ إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

    “(Diharamkan atas kalian) menghimpunkan dalam pernikahan dua wanita yang bersaudara, kecuali apa yang telah terjadi di masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa`: 23)

    Ayat di atas menetapkan bahwa seorang lelaki tidak boleh mengumpulkan dua wanita yang bersaudara dalam ikatan pernikahan karena hal ini jelas akan mengakibatkan permusuhan dan pecahnya hubungan di antara keduanya. (Takrimul Mar`ah fil Islam, Muhammad Jamil Zainu, hal. 16)

    Demikian beberapa ayat dalam surah An-Nisa` yang menyinggung tentang wanita. Apa yang kami sebutkan di atas bukanlah membatasi, namun karena tidak cukupnya ruang, sementara hanya demikian yang dapat kami persembahkan untuk pembaca yang mulia. Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah yang memberi taufik.

    Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

    sumber : http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=617)

    Read more…
  • Beberapa wanita berhijab yang bertubuh gemuk seringkali minder dan mengeluhkan penampilan yang kurang enak dilihat. Mungkin Anda melakukan beberapa hal di bawah ini yang sebaiknya tidak dan perlu Anda lakukan dalam penampilan Anda. Kita tidak mungkin membuat tubuh terlihat ramping dalam sekejap, namun kita bisa membuat penampilan kita rapi dan enak dilihat.

    1. Jangan Gunakan Pakaian Ketat

    Ada perbedaan antara ketat, fit dan longgar. Pakaian ketat mungkin akan membuat Anda nampak ramping saat berdiri, namun saat duduk, lemak perut dan punggung bisa berlipat dan memperlihatkan tidak hanya lekuk, namun juga lemak yang sebaiknya tidak perlu nampak itu. Pakaian yang fit akan membuat Anda enak dilihat, tidak ketat namun juga tidak kedodoran. Sedangkan pakaian yang longgar dan kedodoran akan membuat kita makin nampak besar.

    2. Pilih Blazer Daripada Cardigan

    Blazer memiliki garis jahit yang tegas. Ia bisa memberikan efek penampilan yang rapi dan postur tegak. Lekukan pada blazer yang fit akan membuat penampilan Anda rapi tanpa harus menunjukkan lekukan tubuh kita. Bila menggunakan cardigan, pundak, bahu dan punggung akan terlihat jelas karena bahan cardigan yang melar dan mengikuti bentuk tubuh. Hal ini bisa membuat penampilan kita nampak bungkuk.

    3. Kombinasi Motif Pada Pakaian dan Jilbab

    Karena wajah kita yang cenderung bulat, hindari menggunakan jilbab dan pakaian dengan motif yang ramai sekaligus. Apalagi dengan tambahan aksesoris. Penampilan yang terlalu ramai (jilbab dan pakaian sama-sama bermotif serta menggunakan aksesoris) akan memberikan kesan penuh dan berlebihan. Kombinasikan warna dan motif, misalnya jilbab polos dengan pakaian bermotif atau sebaliknya. Gunakan selalu inner jilbab polos karena bisa membantu menyamarkan pipi yang penuh.

    4. Jangan Pilih Aksesoris Terlalu Besar, Terlalu Kecil dan Terlalu Ramai

    Untuk menjaga penampilan tetap seimbang mengingat kita sudah memiliki penampilan yang 'berisi', pilihlah aksesoris dengan ukuran sedang dan tidak terlalu ramai. Aksesori berukuran besar akan membuat kita nampak makin gemuk, yang terlalu kecil juga tak akan imbang dengan penampilan. Yang terlalu ramai juga kesannya ribet. Pilihlah gelang ukuran sedang, atau kalung panjang dengan satu ornamen yang sesuai dengan bidang dada Anda.

    5. Dua Bagian

    Saat menggunakan pakaian terusan yang sangat longgar, kita bisa menyiasati dengan belt dan menarik sedikit baju di bagian pinggang untuk menghilangkan kesan lekukan. Penampilan bisa lebih rapi tanpa kesan kedodoran dan makin besar. Pakaian dengan kesan dua potong akan membuat penampilan Anda lebih rapi dan tidak makin besar.

    6. Keep It Simple and Comfortable For Yourself

    Dengan kondisi tubuh yang memiliki banyak lemak, kita membutuhkan kenyamanan ekstra. Kita akan cepat merasa panas dan gerah, jadi pilihlah pakaian dari bahan yang nyaman dan dingin. Misalnya bahan kaos rayon dan katun. Rajin mencoba mix and match di depan kaca agar Anda bisa menemukan gaya Anda sendiri yang nyaman dan tetap praktis serta santun.

    Sekalipun hijab saat ini sedang populer dengan aneka macam gaya, yang paling penting adalah niat menutup aurat. Semoga tips di atas bisa bermanfaat bagi Anda.

    Sumber : vemale.com

    Read more…
  • Okky Asokawati dahulu dikenal sebagai peragawati ternama yang sudah puluhan tahun malang-melintang di catwalk. Setelah pensiun dari dunia model dan terjun ke politik, beliau tetap tampil cantik dan anggun bahkan terlihat lebih menarik saat menggunakan jilbab. Menurutnya, perempuan yang tampil berjilbab harus tetap bisa tampil menarik di depan publik dalam kondisi beraktivitas secara aktif. Berikut tips dari Okky Asokawati agar tampil cantik dan sempurna saat memakai jilbab :

    Warna Yang Pas

    Menurut Okky, orang Indonesia jarang memiliki tubuh tinggi dan langsing, Karena itu, paduan warna busana yang disarankan Okky lebih ke monokromatik (memakai satu warna saja), serasi dari atas dan bawah atau mempunyai gradasi warna yang sama. Misalnya kalau yang tinggi menggunakan kerudung hijau, baju pink itu boleh, tapi bagi yang bertubuh pendek seperti itu akan terlihat tubuhnya seperti dipotong-potong, kepala sendiri, badan sendiri.

    “Jangan beda-beda warna, karena secara ilusional optikal akan terlihat terpotong-potong sehingga membuat pemakainya terlihat pendek. Warna monokromatik akan membuat pemakainya terlihat tinggi dan jenjang,” tandas Okky.

    Ketahui Sisi Proporsional

    Dengan perkembangan bentuk hijab yang memiliki ragam pilihan, Okky mengatakan harus melihat sisi proporsional. Jangan sampai penampil bagian atas menjadi lebih besar. Dalam berbusana, memerhatikan sisi proporsional itu harus. Anda harus tahu bagaimana proporsi bagian atas tubuh kita dengan bagian bawah tubuh.

    “Jika menggunakan atasan sempit, bagian bawah lebih baik membesar, atau sebaliknya, lebar di atas ke bawahnya harusnya menyempit, seperti memadunya dengan celana pipa atau rok sepan,” jelas Okky.

    Perhatikan Bahan

    Bahan sangat penting, kalau memakai baju yang bertumpuk-tumpuk, perhatikan untuk menggunakan bahan yang jatuh jangan yang kaku karena akan membuat tubuh terlihat besar.


    Pakai Aksesoris Dengan Hukum 13

    “Ini penting, perhatikan prinsip atau hukum 13. Apa itu? Bahwa kalau kita berbusana Muslim, aksesoris yang melekat ditubuh kita jangan lebih dari 13. Misalnya, kerudung itu sudah dianggap satu, kerudung yang ada payetnya itu dua.” ujar Okky.

    “Misalnya saya sekarang, saya pakai ciput untuk bagian dalam hijab dihitung 1, kemudian dililit lagi dengan bahan kerudung lain itu sudah 2. Saya pakai bros 3, dengan pita ini (pita dari kain hijab hitam di bagian dada) jadi 4. Saya pakai cincin dua buah, itu sudah 6. Kemudian menggunakan jam tangan, itu sudah 7. Ditambah sepatu jadi 8, pakai tas jadi total 9. Aman, nggak sampai angka 13,” lanjut Okky yang mengaku memiliki banyak koleksi kerudung

    Jangan Lupa Merawat Tubuh

    “Kalau sudah berkerudung, lebih baik lagi jika merias wajah dan merawat tubuh. Karena saat menggunakan kerudung, orang lebih melihat ke bagian wajah kita. Dengan kulit wajah terawat dan makeup yang tipis tapi menarik, maka wajah terlihat segar dan penampilan menjadi bagus. Atau bagian tangan, jadi kita harus rajin manicure,” tambah wanita yang tetap cantik ini.

     

    Read more…
  • Apa Lagi yang Engkau Tuntut Wahai Wanita?

    Kehancuran sebuah rumah tangga karena salah satu di antara suami atau istri berbuat selingkuh, rasanya telah menjadi berita yang amat biasa. Bukan hanya terjadi di kalangan selebritis, namun juga banyak terjadi di rumah tangga sekitar kita. Fenomena ini merupakan secuil dari petaka yang muncul karena wanita muslimah tergoda dengan slogan-slogan emansipasi.

    Ibarat sebuah permata yang sangat berharga, ditempatkan di tempat yang bagus, yang tak gampang terjamah. Itulah wanita dalam Islam. Bukan sekedar omong kosong bila kita katakan bahwa wanita benar-benar mendapatkan kemuliaannya dalam Islam. Pembicaraan tentang hal ini telah kita lewati dalam edisi yang lalu. Namun sayangnya banyak orang yang tidak mau menoleh kepada perlakuan istimewa dari agama yang mulia ini, sehingga mereka menengok ke Barat, ingin beroleh konsep bagaimana mengangkat harkat dan martabat wanita ala Barat.

    Orang-orang seperti ini biasanya sudah tertular penyakit minder jadi orang Islam. Atau lebih parahnya, fobi bahkan anti terhadap semua yang berbau Islam namun kagum kepada semua yang datang dari Barat, walaupun itu adalah kesesatan yang dipoles dengan bungkus warna-warni.

    Timbullah kekaguman mereka kepada wanita-wanita di Barat yang bebas berkeliaran mengejar karir di luar rumah sebagaimana lelaki. Berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan lelaki. Diteriakkanlah kepada para wanita agar meniru wanita-wanita Barat, hingga tampaklah akibatnya yang mengerikan ketika gayung bersambut.

    Dan hari ini maupun hari-hari sebelumnya, kita telah melihat hasil teriakan tersebut…
    Para wanita berseliweran di setiap tempat keramaian, di kantor, di lapangan… Dan ini adalah pemandangan yang biasa setiap harinya. Para wanita itu mengejar dunianya dengan menjunjung setinggi-tingginya slogan emansipasi.

    Kalau dulu, para lelaki baik itu ayah, kakek, suami, paman, ataupun saudara laki-laki, demikian cemburu dengan wanitanya bila sampai terlihat oleh lelaki yang bukan mahramnya, namun kita dapati pada hari ini, di zaman kemajuan ini, rasa cemburu sudah ketinggalan kereta. Tak ada lagi tempat untuknya, bukan zamannya lagi. Ayah, suami, paman dan saudara laki-laki membukakan pintu rumah selebar-lebarnya bagi si wanita untuk mengepakkan sayap kebebasan, menurut mereka.

    Para lelaki tak lagi cemburu, sementara si wanita tak lagi memiliki rasa malu. Lalu, diayunkannya langkahnya sampai melampaui pagar ‘istana’nya. Selanjutnya dapat kita duga kerusakan apa yang bakal terjadi bila jalan-jalan dan tempat-tempat di luar rumah dipenuhi wanita, bercampur baur dengan lelaki. Ini semua akibat kebodohan dan jauhnya mereka dari agama, kemudian akibat termakan emansipasi.

    Apa itu Emansipasi?
    Kami tak bermaksud berbicara panjang lebar tentang emansipasi, karena materi ini akan dibahas secara meluas di majalah kesayangan kita ini dalam edisi-edisi mendatang, Insya Allah. Namun tidak mengapa, kami sedikit menyentil permasalahan ini karena berkaitan dengan pembahasan kami di rubrik ini dalam edisi yang telah lalu.

    Kalau ada yang bertanya, apa itu emansipasi? Maka secara praktis kita katakan bahwa yang dimaukan dengan emansipasi oleh para penyerunya adalah upaya mempersamakan wanita dengan lelaki dalam segala bidang kehidupan, baik secara intelektual maupun fisik.

    Emansipasi dipandang sebagai kemajuan bagi kaum wanita, yang berarti kebebasan bagi wanita untuk melakukan apa saja yang diinginkan dan menjalani profesi apa saja. Bukan lagi pemandangan aneh bila kita dapati seorang wanita menjadi sopir truk, kondektur, kuli bangunan, tukang parkir, satpam…. Jangan heran bila wanita bisa menjadi perdana menteri, pilot, jenderal bahkan presiden. Walhasil, kalau lelaki bisa unjuk otak dan ototnya dalam segala lapangan penghidupan maka wanita pun dituntut harus bisa dan harus diberi porsi yang sama. Kalau tidak seperti itu, berarti merendahkan wanita dan menginjak hak asasinya!!! Demikian lolongan mereka.

    Sesuai atau tidak defenisi emansipasi yang disebutkan di sini dengan defenisi palsu yang mereka –kaum feminis– berikan, tidaklah jadi soal. Yang penting demikianlah kenyataan praktik emansipasi di masyarakat kita. Wallahu a’lam.

    Kapan Muncul Emansipasi?
    Tidak terlalu penting untuk kita sebutkan di sini kapan gerakan emansipasi ini muncul untuk pertama kalinya. Yang jelas, gerakan ini pertama kali berbentuk slogan pendidikan akademis bagi kaum wanita. Slogan-slogan itu pada awalnya nampak menarik karena mengusahakan peningkatan kecerdasan dan pengetahuan kaum wanita, agar dapat melahirkan generasi baru yang lebih cakap dan lebih berkualitas.

    Tetapi, di kemudian hari setelah tercapainya tujuan pertama, gerakan ini mulai melakukan tipu daya baru yang tentu saja dibungkus dengan kata-kata indah nan menawan, yakni persamaan hak pria dan wanita secara mutlak dan kebebasan karir wanita di segala bidang.

    Dengan iming-iming yang menarik ini, tak pelak lagi banyak kaum hawa yang tertipu dan terbawa arus gelombang emansipasi. Bahkan hembusan emansipasi seolah angin sejuk bagi masa depan mereka.

    Terlahir di negeri Eropa Barat, emanisipasi jelas mewakili pemikiran bangsa yang sangat jauh dari tuntunan agama Allah Subhanahu wa Ta’ala ini. Bahkan mereka adalah budak-budak hawa nafsu, kesyirikan, dan kekufuran. Kaum wanita dalam masyarakat penyembah salib tersebut sama sekali tidak mendapatkan perlakuan yang semestinya. Mereka diibaratkan barang yang dapat diperjualbelikan di pasaran, dianggap sebagai sampah dan budak pemuas hawa nafsu.

    Para pemuka agama mereka bahkan menyimpulkan bahwa wanita adalah makhluk pembawa kejahatan, musuh keselamatan, penunggu neraka, semata-mata dicipta untuk melayani lelaki, dianggap sejenis hewan yang harus dipukul, dan merupakan tangan dari tangan-tangan setan. Dan masih banyak lagi sebutan dan gelar-gelar jelek yang mereka berikan kepada kaum wanita. Dalam kenyataan buruk seperti itulah dihembuskan ‘angin segar’ emansipasi, agar wanita terlepas dari perbudakan dan perlakuan buruk kaum lelaki. Agar wanita mendapatkan hak asasinya sebagai manusia yang selama ini telah diinjak-injak oleh lelaki.

    Bila demikian kenyataan yang melatarbelakangi lahirnya emansipasi, apakah pantas wanita muslimah ikut-ikutan menjayakan gerakan ini sementara ia telah dimuliakan dalam Islam, diberikan perlindungan dan kedudukan mulia? Sungguh kebodohan telah meracuninya. Andai ia tahu kemuliaan yang diberikan Islam padanya…. Kemuliaan yang membuat iri wanita-wanita Barat !!!.

    Racun Emansipasi
    Propaganda yang laris manis ini banyak menebarkan racun di tengah masyarakat. Kaum wanita berbondong-bondong menyerbu tiap bidang kehidupan dan lapangan pekerjaan. Tak peduli apakah hal itu sesuai dengan fitrahnya atau tidak. Akibatnya, jumlah pengangguran di kalangan lelaki meningkat karena lapangan pekerjaannya telah direbut oleh wanita.

    Dewasa ini tak jarang wanita memasuki bidang-bidang yang ‘berotot’, yang tentunya standar yang dipakai adalah standar yang biasa berlaku pada kaum lelaki, karena memang demikian kebutuhannya. Wanita yang masuk ke bidang ini berarti harus menyesuaikan diri dengan standar yang ada, sementara wanita diciptakan dengan struktur tubuh yang berbeda dengan lelaki. Lalu pekerjaan apa yang dapat diselesaikannya dengan baik?

    Sementara itu, di tempat kerjanya wanita tidak jarang menjadi korban pelecehan -lisan maupun tindakan- dari lawan jenisnya, baik dari rekan kerja ataupun atasannya. Nilai wanita jadi begitu rendah, tak lebih sebagai obyek dari pandangan mata-mata nakal. Kehadirannya di tempat kerja tak jarang hanya sebagai ‘penyegar’ suasana.

    Kemerosotan akhlak terjadi di kalangan masyarakat dengan lepasnya wanita dari rumahnya. Lelaki jadi terfitnah1 dengan bebasnya wanita berkeliaran di sekitarnya. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

    مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

    “Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada fitnah wanita.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

    Wanita dan lelaki bebas bercampur baur dalam satu tempat tanpa adanya pemisah (ikhtilath). Padahal Islam telah melarang hal ini karena ikhtilath merupakan pintu yang mengantarkan pada perbuatan keji dan mungkar, mendekatkan pada perbuatan zina. Allah Subhanahu wa Ta’ala memperingatkan:

    وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيْلاً
    “Dan janganlah kalian mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan keji dan suatu jalan yang amat buruk.” (Al-Isra`: 32)

    Gejala lain yang kini terlihat di kalangan mereka yang menjadi korban emansipasi adalah sepinya ikatan pernikahan. Wanita yang sibuk dengan karirnya lebih suka hidup sendiri daripada harus terikat dengan tanggung jawab mengurus suami, rumah dan anak. Terkadang si wanita lebih memilih hidup bebas, dan bergaul dengan lelaki mana saja yang ia inginkan. Na’udzubillah min dzalik (kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari hal itu).

    Tuntutan agar wanita meraih pendidikan formal yang tinggi ternyata mengharuskan si wanita mempraktikkan ilmunya di lapangan, walau ia harus meninggalkan suami, anak, dan rumahnya. Karena tuntutan ekonomi yang semakin meningkat, semangat cinta kehidupan dunia berikut perhiasannya semakin meninggi, akhirnya para wanita merasa harus bekerja di luar rumah untuk menambah penghasilan keluarga. Timbullah dilema antara mengurus rumah tangga dengan kepentingan pekerjaannya. Tak jarang mereka menyisihkan urusan rumah tangga. “Bisa diserahkan kepada pembantu,” kata mereka.

    Saat ini, terlalu banyak kita dapati anak-anak yang dibesarkan oleh pembantunya, sementara ibunya hanya menjadi pengawas dari jauh. Berbagai masalah timbul karenanya. Anak-anak menjadi nakal karena kurang perhatian. Mereka lari keluar rumah untuk mencari kompensasi, mengais-ngais kasih sayang yang mungkin masih tersisa.

    Rumah tangga terbengkalai, suami pun menyeleweng. Si wanita itu sendiri mendapatkan godaan dari kawan sekerja yang lebih tampan menawan daripada suami di rumah. Akibatnya si wanita pun terdorong untuk berbuat serong. Dan akhirnya…. pernikahan berakhir dengan perceraian. Tinggallah anak-anak sebagai korbannya.

    ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

    “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka mau kembali ke jalan yang benar.” (Ar-Rum: 41)

    Sebenarnya terlalu banyak dampak emansipasi untuk disebutkan di sini. Cukuplah apa yang telah kami sebutkan sebagai contoh. Yang perlu diingat oleh setiap wanita, bahwa emansipasi sama sekali bukanlah solusi untuk mendapatkan pengakuan masyarakat terhadap dirinya. Karena emansipasi yang lebih dahulu telah diperjuangkan oleh wanita Barat hanya menghasilkan penderitaan yang lebih parah bagi kaum wanita.

    Setelah tercapai apa yang menjadi tujuan ternyata timbul akibat yang buruk bagi individu, masyarakat dan generasi penerus. Dilanggarnya tuntunan Islam tanpa rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dicampakkannya hijab, dibuangnya rasa malu, lahirnya anak yang tak diketahui siapa orang tuanya, perpecahan keluarga, mudahnya kawin cerai, kebebasan hubungan lelaki dan wanita, dan sebagainya menjadikan kehidupan para pelaku serta korban emansipasi dipenuhi stres dan depresi. Wallahul musta’an.

    Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari akibat yang diperbuat oleh orang-orang yang jahil dan zalim di antara kita.
    Bila sudah seperti ini keadaannya, tidak ada solusi yang lebih tepat kecuali kembali kepada ajaran Islam yang benar. Kembali kepada tuntunan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.

    Kembalilah engkau wahai wanita kepada fitrahmu! Lihatlah bagaimana Islam telah memuliakanmu! Pegangilah apa yang diajarkan Nabimu, niscaya kebahagiaan di dua negeri akan kau raih.
    Wallahu a’lam.

    Catatan kaki:
    1 Yang dimaksud dengan fitnah di sini adalah sesuatu yang membawa kepada ujian, bala, dan adzab.

    Sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=477

    Read more…
  • Hukum Asal Pernikahan Adalah Berpoligami

    Soal 1:  Wahai Syaikh kami – semoga Allah menjagamu -, berkata penanya: Apa hukum berpoligami di dalam Islam ?

    Jawab:

    Segala puji milik Allah Rabb Sekalian Alam, Shalawat dan Salam atas Nabi kita Muhammad, keluarga, dan seluruh sahabatnya.

    Amma Ba’du :

    Sesungguhnya termasuk yang wajib bagi seorang muslim dan muslimah adalah tunduk kepada hukum Allah Subhaanahu wata’aala dan hukum Rasul-Nya Shallallohu ‘alaihi wasallam. Allah Subhaanahu wata’aala berfirman :

    وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَاب
    Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (Q.S. Al-Hasyr : 7) :

    Dan firman-Nya :

    وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ))

    “Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabilah Allah dan Rasulnya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka”. (Q.S. Al Ahzab :36)

    Dan yang lainnya dari ayat-ayat yang menunjukkan dengan jelas tentang kewajiban  setiap muslim dan muslimah agar tunduk kepada apa yang telah menjadi hukum Allah dan Rasul-Nya, dan menyakini bahwa itu adalah kebaikan. Demikian pula telah datang dari sunnah Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam  yang menganjurkan kaum muslimin dan muslimat agar mereka tunduk kepada apa yang dibawa oleh Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam,  sama saja apakah hukum tersebut terdapat dalam ayat-ayat Al Qur’an maupun dalam Sunnah Nab Shallallohu ‘alaihi wasallam. Dan diantara sunnah yang mutawatir itu adalah apa yang diriwayatkan oleh dua syaikh (Bukhari dan Muslim) dari Anas Radiyallohu ‘anhu dari Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam  bersabda :

    ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ مَنْ كَانَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا

    “Ada tiga perkara yang apabila terdapat pada diri seseorang, maka dia akan merasakan manisnya iman: “Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai dari selain keduanya……”.(Al Hadits [1] )…

    Maknanya bahwa ia mendahulukan apa yang mendatangkan keridhaan Allah dan Rasul-Nya Shallallohu ‘alaihi wasallam  di atas ucapan siapa pun. Dalam hadits yang shahih Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam  bersabda :

    ذَاقَ طَعْمَ الْإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا

    “Akan merasakan manisnya keimanan orang yang ridha Allah menjadi Rabbnya, Islam jadi agamanya, dan Muhammad Shallallohu ‘alaihi wasallam menjadi Rasul-Nya[2] )

    Maka sabda beliau “dan Muhammad Shallallohu ‘alaihi wasallam sebagai Rasul-Nya”, ini mengharuskan untuk beriman dengan setiap yang dibawa oleh Muhamma Shallallohu ‘alaihi wasallam, dan  bahwasanya itu berasal dari Allah, dan itu kebenaran yang tiada keraguan padanya.

    Alangkah baiknya apa yang dikatakan Asy Syafi’i –Rahimahullah- : “Aku beriman kepada Allah dan apa saja yang datang dari Allah menurut kehendak Allah, dan aku beriman kepada Rasulullah dan apa saja yang datang dari Rasulullah menurut kehendak Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam [3] .

    Dan telah sepakat para pemimpin Islam atas apa yang kami sebutkan ini. Jika hal ini telah dipahami, maka sesungguhnya poligami merupakan hukum asal. Ini yang jelas penyebutannya dalam Al Qur’an Al Karim. Allah Ta’aala berfirman :

    فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً ))

    “ Maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.” (Q.S. An Nisa : 3)

    Yang memperhatikan ayat yang mulia ini, akan jelas bagi kita akan dua hal :

    Pertama : Bahwa hukum asal pernikahan adalah poligami, dimana Allah Subhaanahu wata’aala memulai dengannya dan menganjurkannya. Barang siapa yang mengatakan bahwa itu wajib, maka ucapan tersebut memiliki sisi kekuatan, sebab asal perintah hukumnya wajib.

    Kedua : Mencukupkan satu istri bagi yang mengkhawatirkan dirinya tidak berbuat adil.

    ( Pertanyaan yang dijawab oleh Asy Syaikh Ubaid bin Abdillah Al-Jabiri Hadzahulloh )

    Sumber : Isi Buku 30 Soal Jawab Seputar Poligami

    Catatan Kaki:

    [1] Sambungan haditsnya : “Dan dia mencintai seseorang, dia tidak mencintainya melainkan karena Allah, dan dia membenci untuk kembali pada kekufuran setelah Allah menyelamatkan darinya sebagaimana ia benci untuk dilempar ke dalam api neraka.” Diriwayatkan oleh Bukhari (No. 21), Kitabul Iman, bab “Man Kariha an Ya’uda fil Kufri Kamaa Yakrahu an Yulqa fin Naar Minal Iman, dan Muslim (No. 67), Kitab Al Iman, Bab: “Bayaan Khisaal Manit Tashafa Bihinna, Wajada Halaawatal Iman”.

    [2] Diriwayatkan oleh Muslim, No:56, Kitabul Iman, Bab :”Addalil ‘Alaa Anna Man Radhiya Billahi Rabban Wabil Islami Diinan, Wabimuhammadin Rasulan, Fahuwa Mukmin, Wa Inis Takabal Ma’ashiy Al Kabaair, dari hadits Al Abbas bin Abdul Muthalib t.

    [3] Imam Al-Maqdisi –Rahimahullah- menyebutkan dalam kitabnya “Lum’atul ‘Itiqad” No.4. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: “Adapun yang dikatakan Asy Syafi’i maka itu adalah benar, wajib bagi setiap muslim untuk meyakininya. Siapa yang meyakininya dan tidak mendatangkan ucapan yang menyelisihinya, maka dia telah menempuh jalan keselamatan di dunia dan akhirat. Demikian disebutkan dalam “Ar Risalah Al Madaniah bersama Fatwa Alhamawiyah (hal:121)

    Sumber: http://atstsabat.com/index.php?option=com_content&view=article&id=67:hukum-asal-pernikahan-adalah-berpoligami&catid=29:sunnah-poligami&Itemid=55

    Read more…
  • Poligami Bukan Ajaran Islam?

    Pembaca yang budiman, sudah dimaklumi bahwa momentum peringatan Hari Kartini setiap 21 April oleh banyak kalangan dijadikan kesempatan untuk menyuarakan kembali isu persamaan gender. Dengannya mereka menikam syariat yang suci. Dan di antara yang sering menjadi sorotan manusia-manusia tidak beradab tersebut adalah syariat poligami. Maka dalam rangka menjelaskan kebenaran dan membungkam “celotehan” kami turunkan tulisan seorang pemuka ulama Universitas Al Azhar Cairo Mesir di zamannya Asy-Syaikh Ahmad Syakir yang membantah celotehan penyeru “emansipasi wanita” dan pembela ajaran “persamaan gender” seolah-olah beliau hidup di zaman kita membantah orang-orang yang mengatakan: “poligami bukan sunnah” -lalai atau belagak bodo bahwa sunnah dimaksud adalah ajaran NabiShallallahu ‘Alaihi Wasallam-, atau mengatakan: “poligami bukan ajaran Islam” -karena nekat ingin memperdaya kaum muslimin awam- dan ucapan-ucapan yang lainnya yang bersumber dari keawaman yang dibungkus dengan bahasa yang sepertinya ilmiyah. Hasbunallahu wa ni’mal wakiil.

    Dan maklum diketahui, bahwa di sini kami bukan dalam rangka memperingati Hari Kartini -sekali-kali tidak-. Karena Hari Raya bagi kami hanya dua Iedul Fithri dan Adh-ha -dua hari raya yang diakui Islam-. Melainkan kami hanya memanfaatkan momentum hari ini sebagai kesempatan untuk menjelaskan kebenaran, sebagaimana para pengekor kebatilan memanfaatkannya untuk menjajakan kesesatan mereka. Sekian dari kami, dan sekarang kami tinggalkan anda menyimak keterangan di bawah ini. Wassalam.

    Berkata beliau rahimahullah dalam Umdatut-Tafsir (3/102);

    Telah bermunculan di zaman kita sekarang ini generasi dengan paham kafir, nalar ala Nasrani. Mereka tumbuh di bawah didikan barat di negeri-negeri kita dan negeri-negeri mereka sendiri. Mereka dibesarkan dengan aqidah-aqidah tersebut. Sesekali dengan terang-terangan dan terkadang malu-malu. Sampai mereka berhasil menyusupkan paham-paham sesatnya dan menguasai fitrah-fitrah kaum muslimin. Sehingga jadilah motto utama mereka adalah mengingkari poligami, dan memandangnya sebagai perbuatan keji yang tidak bisa diterima oleh akal mereka.

    Diantara mereka ada yang terang-terangan mengingkarinya dan diantara mereka ada yang malu-malu. Dalam hal ini mereka dibela oleh sebagian orang-orang yang mengaku-ngaku ulama Al Azhar, yang mana seharusnya kewajiban seorang ulama adalah membela Islam dan memperkenalkannya kepada orang-orang jahil hakikat-hakikat syari’at. Akan tetapi yang terjadi malah kebalikannya, mereka bangkit membela orang-orang yang memang telah tumbuh dengan didikan dan aqidah kafir guna membatasi poligami di dalam Islam, kata mereka!!

    Para ulama tersebut tidak mengetahui bahwa yang diinginkan oleh manusia-manusia tersebut hanyalah memupuskan sisa-sisa paham poligami di negeri-negeri Islam. Dan tidak ada yang diinginkan oleh anak-anak didikan barat tersebut dari para ulama Al Azhar selain bersama-sama dengan mereka dalam mengharamkan poligami dan melarangnya sampai ke akar-akarnya. Yang ada di dalam pikiran pemimpin-pemimpin mereka, poligami adalah kemungkaran karena itu mereka menolak keberadaannya dari segala macam sisinya.

    Kemudian kondisinya menjadi semakin parah, sampai-sampai kami mendengar salah satu negara yang mengaku islami meletakkan di dalam undang-undang mereka larangan dari berpoligami, bahkan undang-undang tersebut tegas-tegasan menyatakan perkataan yang kufur, bahwa poligami -menurut mereka- adalah haram.

    Mereka tidak sadar bahwa disebabkan pernyataan lancang dan jahat ini mereka menjadi murtad keluar dari agama Islam. Sehingga berlakulah atas mereka serta orang-orang yang ridha dengan perbuatan mereka ini seluruh hukum bagi orang yang murtad yang telah dikenal oleh setiap kaum muslimin. Atau tidak jauh kemungkinannya bahwa mereka sendiri mengetahuinya, sehingga mereka masuk ke dalam kekufuran dan kemurtadan dalam keadaan tahu dan dengan sengaja.

    Bahkan salah seorang yang mengaku sebagai ulama Al Azhar -dan ini adalah cobaan besar bagi Universitas Al Azhar- pernah saking lancangnya, ia membuat tulisan yang terang-terangan menyatakan bahwa Islam mengharamkan poligami. Perbuatan ini merupakan kelancangannya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan sekaligus merupakan kedustaan dengan mengatasnamakan agama-Nya, padahal merupakan tanggung jawab baginya adalah menjaga agama Allah, dan menjadi di antara orang-orang yang turut menegakkannya dan membelanya!!

    Bahkan ada diantara mereka -pria dan wanita- yang baru tahu baca tulis memposisikan diri-diri mereka sebagai mujtahid agama, meng-istimbath hukum-hukum dan memfatwakan halal dan haram serta mencaci maki ulama-ulama Islam ketika ulama-ulama tersebut ingin mengingatkan mereka dan berhenti dari kelancangannya. Padahal kebanyakan makhluk-makhluk lancang ini tidak tahu tata cara wudhu’ dan shalat bahkan tidak tahu bagaimana bersuci, akan tetapi mereka dalam masalah poligami adalah ahli ijtihad!!

    Bahkan kami menyaksikan diantara mereka ada yang ikut campur dalam urusan yang mereka tidak memiliki ilmunya berdalil dengan ayat-ayat Al Qur’an dengan makna, karena dia tidak tahu lafal Al Qur’an!!

    Dikarenakan kelakuan-kelakuan mereka yang jahat serta kelancangan-kelancangan mereka yang mungkar dan kekufuran-kekufuran mereka yang nyata ini masuklah orang-orang non muslim ke dalam masalah ini. Mereka menulis pandangan-pandangannya dalam rangka ijtihad!! Seperti pendahulu-pendahulunya meng-istimbath hukum-hukum dari Al Qur’an -padahal mereka tidak beriman dengannya- untuk memperdaya kaum muslimin dan menyesatkan mereka dari agama mereka.

    Sampai-sampai ada seorang penulis non muslim membuat tulisan di salah satu harian yang sepertinya islami, orang ini menulis artikel dengan judul “Poligami adalah Aib” dengan kelancangannya ini berarti dia telah mencaci syariat Islam, dan memaki seluruh ummat Islam sejak datangnya Islam sampai sekarang. Dan (bersamaan dengan ini semua) kami tidak mendapati seorang pun yang terpanggil kecemburuannya yang apabila sebaliknya ada seorang penulis muslim yang berani mencaci agama si penulis tersebut, yakin ramai-ramai mereka akan membela agamanya. Akan tetapi ummat Islam memang orang-orang yang beradab.

    Yang pertama kali dilakukan oleh manusia-manusia anti poligami ini adalah berlagak prihatin dengan keutuhan keluarga, terutama anak-anak. Mereka menuduh poligami sebagai penyebab meningkatnya jumlah anak-anak terlantar, terlebih lagi kondisi kebanyakan kaum bapak yang pas-pasan, kemudian menikahi lebih dari seorang istri. Mereka adalah para pendusta, bahkan sensus yang mereka buat yang mendustakan mereka sendiri. Lantas mereka ingin menetapkan undang-undang yang mengharamkan poligami bagi laki-laki yang fakir, dan mengidzinkan hanya kepada laki-laki yang kaya dan berkecukupan!! Ini adalah keburukan di antara sederet keburukan yang lainnya yaitu menjadikan syariat Islam yang mulia ini terbatas bagi orang-orang kaya. Kemudian ketika upaya yang mereka lakukan tidak mendapat sambutan, malah kegagalan yang mereka rasakan, mereka beranjak kepada langkah berikutnya, yaitu mempermainkan ayat-ayat Al Qur’an tentang poligami.

    Mereka berdusta bahwa bolehnya poligami bersyarat, yaitu syaratnya adil, sedangkan Allah Ta’ala mengabarkan bahwa berbuat adil adalah mustahil. Ini yang menjadi sandaran haramnya poligami menurut mereka akibat pendalilan sempit yang mereka lakukan, berdalil dengan sebagian ayat dan meninggalkan sebagian lainnya. Dalil mereka adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala,

    “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian” (Qs. An-Nisaa’; 129) dan mereka campakkan firman-Nya yang berbunyi,

    “karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung” (Qs. An-Nisaa’; 129).

    Keadaan mereka seperti orang-orang yang beriman dengan sebagian Al Kitab dan meninggalkan sebagian yang lain!

    Kemudian mereka juga mempermainkan lafal-lafal dan sebagian kaidah-kaidah ushul. Mereka menamakan poligami dengan hukum mubah (boleh), dan atas pemerintah hendaknya mengikat sebagian perkara yang mubah dengan ikatan-ikatan (peraturan) yang sesuai demi kemaslahatan. Padahal mereka tahu betul, dalam hal ini mereka sesat dan menyesatkan, karena tidaklah layak poligami dinamakan dengan mubah yang menurut makna ilmiyah yang sebenarnya adalah; perkara yang dibiarkan yang tidak ada keterangan nas akan halal dan haramnya. Perkara yang mubah adalah yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam katakan,

    “Apa-apa yang dihalalkan oleh Allah maka halal hukumnya, sedangkan apa-apa yang diharamkan oleh Allah maka haram hukumnya, dan apa yang dibiarkan maka itu adalah maaf (dari-Nya).”

    Adapun poligami, terdapat di dalam Al Qur’an nash yang jelas akan kehalalannya, ditambah lagi penghalalan poligami datang dalam bentuk perintah yang mana hukum asalnya adalah wajib, Allah Ta’ala berfirman,

    “Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi” (Qs. An-Nisaa’; 3), adapun berubahnya hukum wajib kepada halal adalah dengan firman-Nya, “Yang kamu senangi” (Qs. An-Nisaa’; 3).

    Kemudian (sebenarnya) mereka mengetahui dengan seyakin-yakinnya bahwa poligami adalah halal (bukan mubah) dengan sebenar-benarnya makna halal, dengan nas Al Qur’an dan berdasarkan contoh yang mutawatir lagi nyata dan tidak diragukan lagi semenjak zaman NabiShallallahu Alaihi Wasallam, para shahabat-Nya, hingga hari ini, akan tetapi mereka adalah kaum yang suka berdusta.

    Dan syarat adil pada ayat ini, “Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja” (Qs. An-Nisaa’; 3) adalah syarat pribadi bukan tasyri’, yaitu syarat yang kembalinya kepada individu mukallaf bukan hal yang diatur oleh pengadilan dan mahkamah. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengidzinkan bagi seorang lelaki -idzin dengan bentuk perintah- untuk menikahi wanita-wanita yang dia sukai tanpa syarat harus dengan idzin seorang hakim atau undang-undang atau pemerintah, atau yang lainnya. Allah Ta’alajuga memerintahkan apabila seseorang takut tidak dapat berbuat adil kepada istri-istrinya, hendaknya dia mencukupkan dengan seorang istri saja. Karena siapa pun tidak berkuasa atas hati seseorang yang ingin menikah sampai dia mengetahui apa yang terdapat di dalam hatinya dari perasaan takut atau tidaknya dia dari tidak dapat berbuat adil.

    Bahkan dalam hal ini Allah Ta’ala telah menyerahkan keputusannya kepada pertimbangan hatinya, dan mengajarkannya bahwa pada hakikatnya dia tidak dapat berbuat adil antara istri-istrinya dengan sesempurnanya, dimana tidak ada sedikit pun kecondongannya terhadap salah satu istri-istrinya, karena itulah Allah Ta’ala memerintahkannya untuk tidak condong (dalam ayatnya),

    “Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung” (Qs. An-Nisaa’;129).

    Pada ayat ini Allah Ta’ala menganggap cukup dalam mentaati perintahnya untuk berbuat adil, dengan dia melakukan keadilan tersebut semampunya, dan memaafkan darinya hal-hal diluar kemampuannya.

    Keadilan yang diperintahkan ini adalah diantara perkara yang berubah-ubah sesuai keadaan, yang terkadang datang dan pergi pada diri mukallaf yang bersangkutan, oleh karena itu tidak masuk akal kalau ia menjadi syarat sahnya akad, yang benar ia semata-mata hanya syarat pribadi yang erat kaitannya dengan diri si mukallaf dan sikapnya.

    Berapa banyak orang yang bertekad untuk melakukan poligami dan di dalam hatinya memendam niat untuk tidak berlaku adil, kemudian dia pun tidak menjalankan apa yang dahulu dipendamnya dan malah berlaku adil kepada istri-istrinya. Dalam hal ini tidak seorang pun yang paham syariat sanggup menuduh orang tersebut telah menyelisihi perintah Rab-nya, karena dia telah mentaati-Nya dalam berlaku adil. Sedangkan tekad di dalam hatinya sebelum itu -untuk tidak berlaku adil- tidak berpengaruh apa-apa terhadap sah tidaknya akad -sejak semula-, terlebih lagi bahwa nash-nash seluruhnya secara tegas menerangkan bahwa Allah Ta’ala tidak memberikan sangsi kepada seorang hamba terhadap bisikan hatinya selagi dia tidak melakukannya atau mengatakannya.

    Dan berapa banyak orang yang berpoligami dengan tekad untuk berbuat adil akan tetapi tidak dia lakukan. Maka orang ini telah menanggung dosa dengan meninggalkan keadilan dan meyelisihi perintah Rab-nya. Akan tetapi tidak seorang pun yang paham syariat sanggup menuduh bahwa kejahatannya mempengaruhi asal akadnya dengan istri yang baru sehingga memindahkannya dari halal dan boleh kepada haram dan batal, melainkan dosanya kembali kepada dirinya sendiri dalam urusan ketidakadilannya kepada pada sang istri. Dan yang wajib baginya adalah mentaati Rab-nya dalam menegakkan keadilan, ini adalah perkara yang sudah dimaklumi tidak ada yang menyelisihi dalam hal ini dari orang-orang yang paham agama dan syariat.

    Adapun mereka adalah para pengikut hawa nafsu yang menunggangi akal-akal mereka, bukan ahli ilmu apalagi dalil, mereka menyelewengkan dalil dari tempatnya, dan mempermainkan dalil-dalil syariat dari Al Kitab dan As-Sunnah selagi mereka mampu.

    Diantara permainan mereka, mereka berdalil dengan kisah Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu ketika melamar anak perempuan Abu Jahl di masa hidup Fathimah binti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dan ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dimintai idzin dalam hal ini, beliau berkata,

    “Saya tidak mengidzinkan, tidak mengidzinkan, tidak mengidzinkan, kecuali apabila Ibnu Abi Thalib ingin menceraikan anakku kemudian menikahi anak mereka, karena sesungguhnya dia (Fathimah -pentj) adalah bagian dariku menggundahkanku apa-apa yang menggundahkannya dan menyakitiku apa-apa yang menyakitinya”.

    Mereka tidak membawakan hadist lengkap dengan lafalnya akan tetapi merangkum kisah dengan rangkuman yang buruk untuk dipakai dalil bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melarang poligami, bahkan sebagian mereka terang-terangan berdalil dengan kisah ini untuk mengharamkan poligami! Mempermainkan agama dan berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya.

    Lantas mereka meninggalkan kelanjutan kisah yang di sana terdapat bantahan atas kedustaan mereka -saya tidak katakan pendalilan mereka- yaitu perkataan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada kejadian yang sama,

    “Dan saya bukannya mengharamkan yang halal dan tidak menghalalkan yang haram, akan tetapi demi Allah tidak akan bersatu anak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan anak musuh Allah disatu tempat selama-lamanya”

    Kedua lafal diatas diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim. Inilah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sang penyampai dari Allah Ta’alayang ucapannya adalah pembeda antara yang halal dan yang haram menegaskan dengan lafal arabi yang nyata pada kejadian yang penting yang berkaitan dengan orang yang paling dicintainya yaitu anaknya yang mulia As-Sayyidah Az-Zahra’ bahwa ia tidak menghalalkan yang haram dan tidak mengharamkan yang halal, akan tetapi ia mengingkari apabila anaknya berkumpul dengan anak musuh Allah dibawah tanggungan seseorang.

    Menurut pemahamanku (penulis -pentj): Bahwa beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak melarang Ali Radhiyallahu ‘Anhu menyatukan anaknya dengan anak Abu Jahl, dimana kapasitasnya sebagai seorang Rasul yang menyampaikan hukum syariat dari Rab-nya, hal ini berdasarkan dalil keterangan dari beliau sendiri bahwa ia tidak mengharamkan yang halal dan tidak menghalalkan yang haram, akan tetapi beliau melarang sebagai larangan pribadi beliau sebagai kepala keluarga yang mana Ali Radhiyallahu ‘Anhu adalah anak pamannya dan Fathimah anaknya, hal ini berdasarkan bahwa keluarga dari anak perempuan Abu Jahl yang datang kepada beliau meminta idzin kepada beliau dalam urusan yang diminta oleh Ali Radhiyallahu ‘Anhu dari mereka. Dan perkataan kepala keluarga tidak disangkal lagi ditaati terlebih lagi apabila dia seorang pemuka Quraisy dan Arab bahkan pemuka sekalian manusia Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

    Tidak ada pada mereka sedikitpun pendalilan begitu pula kesungguhan mengikuti dalil dari Al Kitab maupun As-Sunnah. Tidak pula mereka dikatakan ahli dalam hal ini dan memiliki kemampuan. Akan tetapi yang ada pada mereka semata-mata hanyalah hawa kepada sesuatu tertentu yang mereka cari-cari alasan-alasannya yang terkadang hanya dilontarkan oleh orang jahil atau orang yang lalai.

    Bahkan pada goresan tulisan-tulisan mereka terdapat bukti yang menyingkap dan membongkar apa yang mereka sembunyikan dalam batin-batin mereka. Diantara contohnya bahwa ada seorang pejabat tinggi di salah satu departement pemerintahan di negeri kami, membuat tulisan yang mengesankan bahwa tulisan tersebut resmi dan dimuat di koran-koran sejak beberapa tahun yang lampau, dia memposisikan dirinya sebagai seorang mujtahid bukan hanya dalam syariat Islam semata bahkan dalam seluruh syariat dan hukum!! Diapun lancang dengan membuat perbandingan antara agama Islam -dalam perkara dimana syariat Islam menghalalkan poligami- dengan agama-agama lainnya!! Begitu pula (Islam dibanding-bandingkan -pentj) di sisi hukum dan undang-undang ummat-ummat paganis! Orang ini tidak punya malu sehingga mengunggulkan ajaran Nasrani yang mengharamkan poligami, begitu pula ajaran-ajaran kufur lainnya yang serupa bahkan perkataannya nyaris lugas menyatakan keutamaan ajaran-ajaran mereka dari ajaran Islam yang suci!!

    Orang ini lupa bahwa dengan perbuatannya tersebut berarti dia telah keluar dari agama Islam dengan kekufuran yang nyata, padahal dari namanya mengisyaratkan bahwa orang ini dilahirkan dalam keluarga muslimah. Ditambah lagi perkataannya yang menandakan jahilnya orang ini dengan agama Nasrani sehingga dia menetapkan keunggulan agama Nasrani dari ajaran Islam. Karena merupakan hal yang sangat diyakini dan tidak diragukan lagi bahwa Sayyiduna Isa Alaihissalaam tidak mengharamkan poligami yang halal di dalam Taurat yang mana Isa As sendiri datang untuk membenarkan apa yang terdapat di dalam Taurat sebagaimana hal ini dimaklumi berdasarkan nash yang terdapat di dalam Al Qur’an. Akan tetapi yang mengharamkannya adalah sebagian pendeta-pendeta yang datang setelah Sayyiduna Isa ‘alaihissalam lebih dari delapan ratus tahun sesudahnya dengan pasti, yang dengannya mereka menjadikan untuk diri-diri mereka sendiri hak dalam menghalalkan dan mengharamkan. Dan hal inilah yang  Allah Ta’ala sebutkan di dalam kitab-Nya yang mulia,

    اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَـهًا وَاحِدًا لاَّ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

    “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah, dan (juga mereka menjadikan Rabb ) Al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”. (QS. At-Taubah: 31)

    Yaitu ayat yang ditafsirkan oleh Rasululullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ketika Adi bin Hatim At-Tha’i Radhyallahu ‘Anhu -yang sebelumnya adalah penganut agama Nashrani dan kemudian memeluk Islam- minta kepada beliau tafsirannya, yaitu tatkala ia mendangar ayat ini seraya ia berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Sesungguhnya mereka tidak menyembah orang-orang alim dan rahib-rahib mereka? Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,

    “Tentu sesungguhnya mereka telah mengharamkan untuk ummatnya apa yang telah dihalalkan dan menghalalkan apa yang telah diharamkan, lantas mereka mengikuti perintah orang-orang alim dan rahib-rahib tersebut, itulah bentuk peribadahan mereka kepada orang-orang alim dan rahib-rahib tersebut”

    Wahai ummat Islam jangan biarkan syaithan menyeret kalian dan jangan biarkan para pengikutnya dan orang-orang yang mengikuti para penyembah syaithan memperdaya kalian sehingga kalian meremehkan kekejian yang memang ingin mereka sebarluakan diantara kalian dan meremehkan kekufuran yang memang mereka ingin jerumuskan kalian ke dalamnya.

    Karena masalahnya bukan sekedar boleh atau tidak boleh, sebagaimana yang mereka samarkan kepada kalian. Melainkan ini adalah masalah aqidah, apakah kalian tetap kokoh di atas keislaman kalian dan di atas syari’at yang Allah Ta’ala turunkan kepada kalian dan Dia perintahkan kalian untuk mentaatinya seperti apapun keadaan kalian? Atau kalian malah mencampakkannya -hanya kepada Allah kita mohon perlindungan- sehingga kalian kembali kepada panasnya kekufuran dan kalian bersiap-siap menerima kemurkaan Allah dan Rasul-Nya? Inilah kondisi yang sebenarnya.

    Sesungguhnya mereka yang mengajak kalian kepada pelarangan poligami, mereka sendiri tidak merasa sungkan menggauli sekian banyak wanita-wanita genit dan perempuan-perempuan simpanan dan kondisi mereka yang seperti ini sudah bukan rahasia lagi. Bahkan sebagian mereka tidak malu-malu menanggalkan seragamnya dan membuang kotorannya di koran-koran dan tulisan, kemudian membela kebebasan berijtihad di dalam syari’at dan agama dan merendahkan Islam dan kaum muslimin.

    Sesunguhnya Allah tatkala ia menghalalkan poligami -dengan nash yang jelas di dalam Al Qur’an- Dia menghalalkannya di dalam syari’at-Nya sepanjang masa pada setiap zaman dan masa. Dan Dia Maha Mengetahui apa yang terjadi dan yang akan terjadi, tidak luput dari ilmunya Allah apa yang terjadi berupa peristiwa-peristiwa di zaman ini dan tidak pula apa yang akan terjadi pada masa-masa yang akan datang. Seandainya hukum ini akan berubah dengan berkembangnya zaman -seperti yang dituduhkan orang-orang yang menyelewengkan agama- tentu Dia akan jelaskan nashnya di dalam kitab-Nya atau melalui sunnah Rasul-Nya,

    قُلْ أَتُعَلِّمُونَ اللَّهَ بِدِينِكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

    “Katakanlah (kepada mereka):”Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu (keyakinanmu), padahal Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan Allah Maha Mengetahui seagala sesuatu”. (QS. Al Hujurat: 16)

    Dan Islam berlepas diri dari kependetaan dan kerahiban. Tidak seorang pun berhak menghapus hukum yang telah ditetapkan oleh Allah di dalam kitab-Nya atau di dalam sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dan tidak seorang pun berhak mengharamkan sesuatu yang telah Allah halalkan dan tidak pula menghalalkan apa yang telah Allah haramkan, tidak seorang khalifah, raja, presiden atau menteri. Bahkan semua ummat ini tidak berhak akan yang demikian apakah berdasarkan kesepakatan atau dengan perhitungan suara terbanyak. Yang wajib bagi mereka semua adalah tunduk kepada hukum Allah, dengar kata dan taat. Simaklah firman Allah Ta’ala berikut,

    وَلاَ تَقُولُواْ لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَـذَا حَلاَلٌ وَهَـذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُواْ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ مَتَاعٌ قَلِيلٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

    “Dan janganlah kamu mengatakan terhadapa apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (itu adalah) kesenangan yang sedikit; dan bagi mereka azab yang pedih. (QS. 16: 116-117)

    Dan simak juga firman-Nya,

    قُلْ أَرَأَيْتُم مَّا أَنزَلَ اللّهُ لَكُم مِّن رِّزْقٍ فَجَعَلْتُم مِّنْهُ حَرَامًا وَحَلاَلاً قُلْ آللّهُ أَذِنَ لَكُمْ أَمْ عَلَى اللّهِ تَفْتَرُونَ

    “Katakanlah:”Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal”. Katakanlah:”Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” (QS. 10:59)

    Maka ketahuilah bahwa setiap orang yang mengupayakan diharamkannya poligami atau dilarang atau mengikatnya dengan syarat-syarat yang tidak ada landasannya di dalam Al Kitab dan As-Sunnah Sungguh dia telah membuat kedustaan atas nama Allah. Dan ketahuilah bahwa setiap orang akan menghisab dirinya masing-masing, hendaklah seseorang melihat kembali dimana dia akan dibangkitkan dan dimana dia akan ditempatkan. Sungguh tunai sudah kewajibanku, Alhamdulillah.

    Sumber: Umdatut Tafsir (3/102)

    (http://www.tauhidfirst.net/halilintar-kepada-penolak-poligami-2/)

    Read more…
  • Jagalah Keimananmu

    Bertambah ataupun berkurangnya keimanan dipengaruhi banyak faktor. Salah satunya adalah lingkungan keimanan itu sendiri. Sudahkah keluarga, institusi pendidikan, dan masyarakat menjadi tempat yang bisa menyemaikan keimanan anak-anak kita?

    Iman adalah nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang wajib disyukuri dan dijaga. Sehingga ketika ada orang yang meminta nasihat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menasihatkan untuk istiqamah di atas iman.

    Dari Abu ‘Amr –ada yang menyatakan pula Abi ‘Amrah– Sufyan bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu:

    قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، قُلْ لِي فِي الْإِسْلَامِ قَوْلًا لَا أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا غَيْرَكَ. قَالَ: قُلْ آمَنْتُ بِاللهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ

    Aku berkata kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, sampaikanlah kepadaku satu perkataan yang aku tidak akan bertanya lagi setelahnya kepada selainmu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Katakanlah aku beriman kepada Allah kemudian istiqamahlah.” (HR. Muslim)

    Di antara keyakinan Ahlus Sunnah wal Jamaah, iman seseorang bisa bertambah dan berkurang. Hal ini berdasarkan banyak dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah.
    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

    الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ

    “Orang-orang (yang menaati Allah dan rasul), ada yang berkata kepada mereka: ‘Sesungguhnya manusia (yakni kaum musyrikin) telah berkumpul untuk menyerang kalian, karena itu takutlah kepada mereka’. Maka perkataan itu (justru) menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: ‘Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung’.” (Ali ‘Imran: 173)

    إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

    “Sesungguhnya orang-orang yang beriman (dengan iman yang hakiki) ialah mereka yang bila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Allah lah mereka bertawakal.” (Al-Anfal: 2)

    وَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا إِلَى رِجْسِهِمْ وَمَاتُوا وَهُمْ كَافِرُونَ

    “Dan apabila diturunkan suatu surat, di antara mereka ada yang berkata: ‘Siapakah di antara kalian yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?’ Adapun orang-orang yang beriman maka surat ini menambah imannya dan mereka merasa gembira.” (At-Taubah: 125)

    وَلَمَّا رَأَى الْمُؤْمِنُونَ الْأَحْزَابَ قَالُوا هَذَا مَا وَعَدَنَا اللهُ وَرَسُولُهُ وَصَدَقَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَا زَادَهُمْ إِلَّا إِيمَانًا وَتَسْلِيمًا

    “Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata: ‘Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita, dan benarlah Allah dan Rasul-Nya.’ Yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.” (Al-Ahzab: 22)

    هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَعَ إِيمَانِهِمْ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَكَانَ اللهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

    “Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Al-Fath: 4)

    وَمَا جَعَلْنَا أَصْحَابَ النَّارِ إِلَّا مَلَائِكَةً وَمَا جَعَلْنَا عِدَّتَهُمْ إِلَّا فِتْنَةً لِلَّذِينَ كَفَرُوا لِيَسْتَيْقِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَيَزْدَادَ الَّذِينَ ءَامَنُوا إِيمَانًا

    “Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat, dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk menjadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya.” (Al-Muddatstsir: 31)

    Adapun hadits-hadits yang menunjukkan masalah ini banyak sekali. Di antaranya hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

    مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لـَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لـَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ

    “Barangsiapa di antara kalian melihat satu kemungkaran hendaklah mengubah dengan tangannya. Jika tidak mampu maka dengan lisannya. Jika tidak mampu maka dengan hatinya dan itulah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)

    Dalam riwayat lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:

    مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ

    “Tidaklah aku melihat ada orang yang kurang akal dan agamanya yang membuat goyah hati lelaki yang kokoh selain salah seorang kalian (kaum wanita).”

    Di antara dalil masalah ini adalah hadits Jundub bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu:

    كُنَّا مَعَ النَّبـِيِّ n وَنَحْنُ فِتْيَانٌ حَزَاوِرَةٌ فَتَعَلَّمْنَا الْإِيمَانَ قَبْلَ أَنْ نَتَعَلَّمَ الْقُرْآنَ ثُمَّ تَعَلَّمْنَا الْقُرْآنَ فَازْدَدْنَا بِهِ إِيمَانًا

    “Kami bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu kami para pemuda yang sebaya. Kami belajar iman sebelum belajar Al-Qur`an. Kemudian kamipun belajar Al-Qur`an dan bertambahlah iman kami.” (HR. Ibnu Majah)

    Asy-Syaikh Al-Hakami rahimahullahu berkata: “Ini adalah ijma’ para imam yang teranggap ijma’nya. Mereka menyatakan bahwa iman itu bertambah dan berkurang.” (Ma’arijul Qabul)
    Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Ajurri bahwa Sufyan bin ‘Uyainah berkata: “Iman itu ucapan dan amalan, bertambah dan berkurang.” Saudara beliau, Ibrahim bin ‘Uyainah berkata: “Wahai Abu Muhamad (nama kunyah Sufyan bin Uyainah, red.), jangan engkau katakan bertambah dan berkurang.” Ibnu ‘Uyainah pun marah dan berkata: “Diamlah wahai anak kecil! Bahkan iman bisa berkurang hingga tidak tersisa di hatinya sedikitpun.”

    Sebagian salaf berkata: “Di antara wujud pemahaman seseorang adalah senantiasa menjaganya dari kekurangan. Di antara wujud pemahaman seseorang adalah dia tahu apakah imannya bertambah atau berkurang. Dan di antara wujud pemahaman seseorang adalah dia tahu godaan setan yang mendatanginya.” (Syarah Nuniyyah)

    Bertambahnya Iman dengan Ketaatan
    Menurut keyakinan Ahlus Sunnah, bertambahnya iman seseorang itu dengan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semakin dia taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka semakin kuat keimanannya.
    Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata: “Sebab bertambahnya iman ada empat:
    1. Mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Karena, semakin seorang mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala, nama-nama, serta sifat-sifat-Nya akan semakin bertambah keimanannya.
    2. Melihat ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang kauniyah maupun syar’iyah.
    3. Banyak berbuat taat dan kebaikan. Karena amalan termasuk dalam iman, sehingga banyak melakukan amal baik akan memperbanyak/meningkatkan keimanan.
    4. Meninggalkan maksiat dengan niat taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Diringkas dari Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah)

    Sebab Lemahnya Iman
    Menurut keyakinan Ahlus Sunnah, berkurangnya iman disebabkan maksiat yang dilakukan seseorang. Semakin banyak maksiat dilakukannya, akan semakin mengurangi keimanannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

    كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

    “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (Al-Muthaffifin: 14)

    Setiap kali seseorang berbuat maksiat, akan dititik hitam di hatinya sebagaimana diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
    Kami akan sebutkan beberapa perkara yang sangat berpengaruh dalam turunnya keimanan seseorang.
    Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata: “Sebab berkurangnya iman ada empat:
    1. Berpaling dari mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala, nama-nama, dan sifat-sifat-Nya.
    2. Berpaling dari melihat ayat-ayat Allah kauniyah dan syar’iyah, karena hal itu akan menyebabkan kelalaian dan kerasnya hati.
    3. Kurang beramal shalih.
    4. Berbuat maksiat.” (Diringkas dari Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah)

    Perlu diketahui di sini, ada amalan-amalan yang sangat memengaruhi keimanan seseorang namun dianggap sepele oleh banyak orang. Di antaranya:
    1. Jauh dari lingkungan dan suasana iman

    أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ

    “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya. Kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Al-Hadid: 16)
    Lingkungan merupakan faktor terpenting dalam memelihara dan memupuk keimanan. Lingkungan yang beriman akan menambah keimanan, dan lingkungan yang jelek akan merusak keimanan seseorang.

    Dalil yang paling menunjukkan akan hal ini adalah disyariatkannya hijrah dari negeri kafir ke negeri muslim. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

    إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلاَئِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي اْلأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا. إِلاَّ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لاَ يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلاَ يَهْتَدُونَ سَبِيلاً. فَأُولَئِكَ عَسَى اللهُ أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَكَانَ اللهُ عَفُوًّا غَفُورًا

    “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, malaikat bertanya (kepada mereka): ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini?’ Mereka menjawab: ‘Kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah).’ Para malaikat berkata: ‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?’ Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya serta tidak mengetahui jalan (untuk hijrah). Mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (An Nisaa: 97-99)

    Namun disayangkan, banyak di antara kaum muslimin yang tidak mengindahkan masalah ini dan justru melakukan amalan yang membahayakan iman mereka dan anak-anak mereka, yakni lebih memilih dan senang tinggal di negeri kafir.

    Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu menerangkan: “Sesungguhnya tinggal di negeri kafir bahayanya amatlah besar terhadap agama seseorang. Membahayakan akhlak, tingkah laku, dan adabnya. Kami dan selain kami telah menyaksikan penyimpangan orang-orang yang tinggal di negeri kafir. Mereka pulang (dengan aqidah) yang berbeda ketika berangkat, pulang dalam keadaan sebagai orang fasik. Sebagian mereka pulang dalam keadaan murtad dari agamanya….” (Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah)

    Asy-Syaikh Shalih Fauzan berkata: “Diharamkan bagi seorang muslim menjadikan dirinya sebagai pembantu/pelayan orang kafir, karena dalam amalan tersebut terdapat unsur kekuasaan dan penghinaan orang kafir atas seorang muslim. Tinggal terus-menerus di negeri kafir juga haram karena akan membahayakan aqidah seorang muslim.” (Kitabut Tauhid, lishafil awal al-’ali hal.107)

    Termasuk dalam masalah ini adalah bepergian ke negeri kafir untuk berlibur/melancong atau acara hiburan lainnya. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata: “Bepergian ke negeri kafir tidak diperbolehkan kecuali dengan tiga syarat:
    1. Dia mempunyai ilmu untuk menolak syubhat (pemikiran yang menyimpang).
    2. Dia punya agama yang mencegahnya dari syahwat.
    3. Dia membutuhkannya.
    Jika syarat-syarat ini tidak terpenuhi maka dia tidak diperbolehkan bepergian ke negeri kafir. Karena bepergian ke negeri kafir mengandung fitnah (cobaan), khawatir fitnah dan menghamburkan harta, karena seorang yang bepergian ke sana akan mengeluarkan dana yang tidak sedikit.” (Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah)

    2.Menjauh dari majelis ilmu (syar’i)
    Dari Hanzhalah: Abu Bakr berjumpa denganku dan berkata: “Bagaimana kabarmu, wahai Hanzhalah?” Aku katakan: “Hanzhalah telah tertimpa kemunafikan!” Beliau berkata: “Subhanallah, apa yang kau ucapkan?” Aku katakan: “Ketika kita ada di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memperingatkan tentang surga dan neraka, sepertinya kita melihat dengan mata kepala kita. Tapi jika kita pulang dari majelis Rasulullah, kita sibuk dengan istri dan anak serta mata pencaharian, maka kitapun banyak lupa.” Abu Bakr berkata: “Demi Allah, kitapun merasakan hal tersebut.” Maka akupun berangkat bersama Abu Bakr hingga masuk menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku katakan: “Hanzhalah telah tertimpa kemunafikan, wahai Rasulullah!” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Ada apa ini?” Aku katakan: “Wahai Rasulullah, ketika kami ada di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memperingatkan tentang surga dan neraka, sepertinya kami melihat dengan mata kami. Tapi jika kami pulang dari majelis Rasulullah, kami sibuk dengan istri dan anak serta mata pencaharian, maka kamipun banyak lupa.” Rasulullah berkata: “Demi Yang jiwaku di tangan-Nya, jika kalian terus merasakan seperti keadaan berada di sisiku dan terus berdzikir, niscaya malaikat akan menyalami kalian di tempat tidur dan jalan-jalan. Akan tetapi wahai Hanzhalah, sesaat, sesaat.” (HR. Muslim)

    Asy-Syaikh Al-Hakami rahimahullahu mengatakan: “Jika menjauh dari majelis ilmu berpengaruh kepada iman seseorang, lebih-lebih lagi jika tersibukkan dengan ilmu yang terkontaminasi oleh pemahaman kufur yang sengaja disusupkan.”

    3. Teman yang jelek
    Teman sangatlah berpengaruh pada keimanan seseorang. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:

    الْـمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ

    “Seseorang di atas agama temannya.”

    Di antara kesalahan kaum muslimin adalah menyerahkan pendidikan anak-anak mereka ke lembaga-lembaga yang tidak mementingkan aqidah. Bahkan sebagian mereka “menitipkan” anak mereka ke lembaga pendidikan yang notabene kafir atau mengirim anak mereka belajar di negeri kafir. Innalillahi wa inna ilahi raji’un. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu menjelaskan:
    “Macam kelima: Tinggal di negeri kafir untuk belajar. Ini sama dengan tinggal karena suatu kebutuhan, namun lebih berbahaya dan lebih dahsyat kerusakannya bagi agama dan akhlak pelakunya. Karena seorang pelajar akan merasa rendah derajatnya dan tinggi kedudukan gurunya. Sehingga menyebabkan dia mengagungkan guru-guru serta merasa puas dengan pemikiran, pendapat, dan perilaku guru-guru mereka serta kemudian mengikutinya, kecuali orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaganya dan yang seperti ini sedikit jumlahnya. Kemudian pelajar merasa butuh kepada gurunya sehingga menyebabkan dia mencari simpati dan basa-basi dengannya, dalam keadaan gurunya di atas penyimpangan dan kesesatan. Demikian juga, seorang pelajar di tempatnya belajar mempunyai teman-teman yang dijadikannya sahabat dekat. Dia mencintai, loyal, dan mengambil akhlak mereka….” (Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah)

    Demikianlah sebagian sebab menurunnya iman seseorang. Perlu diketahui pula bahwa berkurangnya iman, jika sampai menyebabkan meninggalkan perkara wajib atau melakukan perkara haram, merupakan keadaan yang berbahaya. Pelakunya tercela dan wajib bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bersegera untuk mengobati dirinya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:

    إِنَّ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةً وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةٌ، فَمَنْ كَانَتْ شِرَّتُهُ إِلَى سُنَّتـِي فَقَدْ أَفْلَحَ وَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَقَدْ هَلَكَ

    “Setiap amalan ada masa semangatnya, dan masa semangat ada masa jenuhnya. Barangsiapa kejenuhannya dipalingkan kepada sunnahku berarti dia telah berbahagia, dan barangsiapa yang kejenuhannya tidak membawa dia kepada yang demikian maka dia telah binasa.” (HR. Ahmad, lihat Shahih At-Targhib)

    Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa menjaga iman kita serta memberi taufiq kepada kita untuk senantiasa beramal shalih dan istiqamah di jalan-Nya. Allahumma amin.

    Sumber: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=705

    Read more…
  • Pentingnya Mengenal Al Asma` Al-Husna

    Mengenal dan mempelajari nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah suatu ilmu yang sangat agung, penuh dengan kebaikan dan keutamaan, dan beraneka ragam buah dan manfaatnya.

    Keutamaan dan keagungan mendalami ilmu Al-Asmâ` Al-Husnâ akan lebih jelas dengan memperhatikan beberapa keterangan berikut ini:

    Satu: Mempelajari ilmu tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah ilmu yang paling mulia dan paling utama, yang paling tinggi kedudukannya dan paling agung derajatnya. Tentunya hal ini sangat dimaklumi. Karena kemulian suatu ilmu pengetahuan tergantung pada jenis pengetahuan yang dipelajari dalam ilmu itu. Sedangkan telah dimaklumi pula bahwa tiada yang lebih mulia dan lebih utama dari pengetahuan tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah yang terkandung dalam Al-Qur`ân yang mulia dan Sunnah Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam.

    Berkata Abu Bakr Ibnu Al-‘Araby rahimahullâh, “Kemuliaan sebuah ilmu tergantung apa yang diilmui padanya. Sedang (mengenal Allah) Al-Bârî adalah semulia-mulia pengetahuan. Maka mengilmui tentang nama-nama-Nya adalah ilmu yang paling mulia.” [1]

    Maka mempelajari dan mendalami makna Al-Asmâ` Al-Husnâ adalah amalan yang paling utama dan mulia.

    Dua: Mengenal Allah dan memahami nama-nama dan sifat-sifat-Nya akan manambah kecintaan hamba kepada Rabbnya, akan membuatnya semakin mengagungkan dan membesarkan-Nya, lebih mengikhlaskan segala harapan dan tawakkal hanya untuk-Nya dan membuat rasa takutnya kapada Allah semakin mendalam. Dan kapan pengetahuan dan pemahaman seorang hamba terhadap nama-nama dan sifat-sifat Rabbnya semakin kuat dan mendalam, maka akan semakin kuat pula tingkat penghambaannya kepada Allah, dan akan semakin tulus sikapnya berserah diri kepada syari’at Allah, serta dia akan semakin tunduk kepada perintah Allah dan semakin jauh meninggalkan larangan-Nya.

    Tiga: Mengenal Allah dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya adalah dasar keimanan dan dengan itu pula iman akan semakin bertambah.

    Berkata Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Si’dy rahimahullâh, “Sesungguhnya beriman terhadap Al-Asmâ` Al-Husnâ dan mengenalnya mencakup tiga jenis tauhid; tauhid Rubûbiyah, tauhid Ulûhiyah dan tauhid Al-Asmâ` wa Ash-Shifât. Dan tiga jenis tauhid ini adalah perputaran iman dan ruhnya, pokok dan puncaknya. Maka setiap kali pengetahuan hamba terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah semakin bertambah, maka akan bertambah pula keimanannya dan akan semakin kuat keyakinannya.” [2]

    Demikian pula sebaliknya, siapa yang kurang pengetahuannya terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah, maka kurang pula keimanannya.

    Dan siapa yang mengenal Allah, maka ia akan mengenal segala yang selain Allah. Dan siapa kebalikan dari itu, maka perhatikanlah firman-Nya,

    “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” [Al-Hasyr :19]

    Cermatilah ayat di atas, tatkala ia lupa terhadap Allah, maka Allah membuatnya lupa kepada dirinya sendiri, lupa terhadap apa-apa yang merupakan kebaikannya dan lupa akan sebab-sebab keberuntungannya di dunia dan akhirat.

    Empat: Sesungguhnya Allah Subhânahu wa Ta’âlâ yang mengadakan makhluk yang sebelumnya mereka tidaklah pernah terwujud dan tidak pernah tersebut. Dan Allah ‘Azza wa Jalla memudahkan untuk mereka apa yang di langit dan di bumi, dan memberikan kepada mereka berbagai nikmat yang tidak mungkin bisa dijumlah dan dihitung. Seluruh hal tersebut agar mereka mengenal Allah dan menyembah-Nya. Allah Jalla Sya`nuhu berfirman,

    “Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kalian mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” [Ath-Tholâq :12]

    Dan Allah Tabâraka wa Ta’âlâ berfirman,

    “Katakanlah: “Sesungguhnya patutkah kalian kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam dua hari dan kalian adakan sekutu-sekutu bagi-Nya? (Yang bersifat) demikian itulah Rabb semesta alam.” Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni) nya dalam empat hari. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.” Keduanya menjawab: “Kami datang dengan suka hati”.” [Fushshilat :9-11]

    Dan Allah ‘Azza Dzikruhu menyatakan,

    “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” [Adz-Dzâriyât :56-57]

    Maka usaha seorang hamba mengenal dan mempelajari nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah sesuai dengan maksud penciptaannya. Dan meninggalkan hal tersebut dan menelantarkannya tergolong melalaikan maksud penciptaannya. Dan sangatlah tidak layak seorang makhluk yang lemah telah mendapatkan berbagai macan keutamaan dan telah merasakan beraneka ragam karunia dan nikmat Allah kemudian ia jahil terhadap Rabbnya dan berpaling dari mengenal kebesaran, nama-nama dan sifat-sifat-Nya.

    Lima: Sesungguhnya Allah Subhânahu wa Ta’âlâ mencintai nama-nama dan sifat-sifat-Nya dan Allah mencintai nampaknya pengaruh nama-nama dan sifat-sifat-Nya pada makhluk. Dan hal ini tentunya bagian dari kesempurnaan Allah dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya.

    Diantara nama-nama Allah ‘Azza wa Jalla adalah Ar-Rahmân dan Ar-Rahim [3] yang Maha merahmati makhluk dengan berbagai nikmat. –Sebagai contoh- perhatikan surah Ar-Rahmân yang dari awal surah hingga akhirnya menunjukkan rahmat Allah yang maha luas. Di awal surah, Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,



    “(Allah) Yang Maha Merahmati, Yang telah mengajarkan AlQur`ân. Dia menciptakan manusia, Mengajarnya pandai berbicara. Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan. Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan kedua-duanya tunduk kepada-Nya. Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kalian jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kalian mengurangi neraca itu. Dan Allah telah meratakan bumi untuk makhluk-(Nya). Di bumi itu ada buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang. Dan biji-bijian yang berkulit dan bunga-bunga yang harum baunya. Maka nikmat Rabb kalian yang manakah yang kalian dustakan?”…[Ar-Rahmân : 1-13]

    Dan Allah berfirman,

    “Maka perhatikanlah bekas-bekas rahmat Allah, bagaimana Allah menghidupkan bumi yang sudah mati. Sesungguhnya (Rabb yang berkuasa seperti) demikian benar-benar (berkuasa) menghidupkan orang-orang yang telah mati. Dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” [Ar-Rûm :50]

    Dan karena rahmat Allah, Allah mencintai hamba-hamba-Nya yang mempunyai sifat merahmati makhluk lainnya sebagaimana yang ditunjukkan dalam nash-nash dalil yang sangat banyak.

    Dan Allah Subhânahu wa Ta’âlâ adalah Al-Alîm (Yang Maha mengetahui) dan Allah mencintai orang-orang yang berilmu sebagaimana yang nash-nash dalil yang sangat banyak.

    Dan Allah adalah At-Tawwâb (Maha Menerima taubat) dan Allah mencintai orang-orang yang bertaubat, “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” [Al-Baqarah :222]

    Dan demikan seterusnya.

    Berkata Ibnul Qayyim rahimahullâh, “Demikianlah keadaan nama-nama Allah yang maha husnâ. Makhluk yang paling Dia cintai adalah siapa yang bersifat dengan konsekuensi dari (Al-Asmâ` Al-Husnâ itu). Dan (makhluk) yang paling Dia benci adalah siapa yang bersifat dengan kebalikan dari (Al-Asmâ` Al-Husnâ itu). Karena itu (Allah) membenci orang yang kafir, zholim, jahil, keras hatinya, bakhil, penakut, hina, dan bejat. Sedang (Allah) Subhânahu adalah Jamîl (Maha indah, elok) cinta kepada keindahan, Alîm cinta terhadap ulama, Rahîm cinta kepada orang yang merahmati, Muhsin (Maha Memberi kebaikan) cinta kepada orang yang berbuat kebaikan, Syakûr (Maha Pembalas Jasa) cinta kepada orang yang bersyukur, Shabûr (Yang Maha Sabar)[4] cinta kepada orang yang bersabar, Jawwâd (Maha Dermawan) [5] cinta kepada orang-orang yang dermawan dan berbuat kebajikan, Sattâr [6]cinta kepada As-Sitr, Qodîr mencela kelemahan -“dan mukmin yang kuat lebih Dia cintai dari mukmin yang lemah”-[7], Afuw (Maha Pemaaf) cinta kepada sifat pemaaf, dan Witr (Yang Maha Satu) cinta kepada yang witir[8]. Setiap yang dicintai oleh Allah maka itu dari pengaruh nama-nama dan sifat-sifat-Nya dan konsekuensinya. Dan setiap yang Dia benci maka itu dari apa yang bertentangan dan berlawanan dengannya.” [9]

    Enam: Orang yang benar-benar mengenal Allah ‘Azza wa Jalla akan berdalil dengan sifat-sifat dan perbuatan Allah terhadap apa yang Dia perbuat dan apa yang Dia syari’atkan. Karena seluruh perbuatan Allah adalah keadilan, keutamaan, dan hikmah, yang telah menjadi konsekuensi dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Maka tidak suatu apapun yang Dia syari’atkan kecuali sesuai dengan konsekuensi tersebut. Sehingga segala yang Allah beritakan adalah suatu yang hak dan benar dan segara perintah dan larangannya adalah keadilan dan hikmat.

    Misalnya seorang hamba memperhatikan Al-Qur`ân dan apa yang Allah beritakan kepada makhluk melalui lisan para rasul tentang nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-Nya, dan tentang harus mensucikan dan membesarkan Allah dari segala yang tidak layak. Juga ia memperhatikan bagaimana perbuatan Allah terhadap para wali yang memurnikan ibadah hanya kepada-Nya dan kenikmatan yang mereka peroleh karena itu ataupun ia memperhatikan bagaimana keadaan orang-orang yang menetang-Nya dan kebinasan akibat perbuatan mereka. Dengan hal ini, orang-orang yang memahami nama-nama dan sifat-sifat-Nya akan berdalilkan bahwa Allah adalah satu-satu-Nya Ilah yang berhak diibadahi, “Yang Maha mampu atas segala sesuatu”, “Yang Maha Mengetahui segala sesuatu”, “Yang Keras siksaannya”, “Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”, “Yang Maha Berkuasa lagi Maha Bijaksana”, “Yang Maha melakukan apa yang Dia kehendaki” dan seterusnya dari apa yang menujukkan rahmat, keadilan, keutamaan, dan hikmah Allah Jalla wa ‘Alâ.

    Apabila seorang hamba memperhatikan hal di atas, maka tidaklah diragukan bahwa hal tersebut akan menambah keyakinannya, memperkuat imannya, mempersempurna tawakkalnya, dan semakin menambah penyerahan dirinya kepada Allah.

    Tujuh: Mengenal Allah dan mempelajari nama-nama dan sifat-sifat-Nya adalah perniagaan yang sangat menguntungkan. Dan dari keuntungannya adalah membuat jiwa tenang, hati menjadi tentram, dada menjadi lapang dan bersinar, keindahan sorga Firdaus pada hari kiamat, melihat kepada wajah Allah Yang Maha Agung lagi Maha Mulia, meraih keridhaan Allah, dan selamat dari kemurkahan dan siksaan-Nya. Dan insya Allah akan lebih nampak lagi keuntungan-keuntungan tersebut pada uraian Al-Asmâ` Al-Husnâ yang akan diterangkan dalam rubrik ini secara bersambung.

    Delapan: Berilmu tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah penjaga dari ketergelinciran, pembuka pintu amalan sholih, pemacu untuk menyonsong segala ketaatan, penghardik dari dosa dan maksiat, pembersih jiwa dari sikap-sikap tercela, penghibur di masa musibah dan petaka, pengawal menghadapi gangguan syaithan, penyeru kepada akhlak mulia dan fadhilah, dan lain sebagainya dari buah dan manfaat ilmu Al-Asmâ` Al-Husnâ.

    Sembilan: Mempelajari nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah dasar pokok untuk mengetahui segala ilmu pengetahuan selainnya. Karena yang dipelajari -selain dari ilmu tentang Allah Tabâraka wa Ta’âlâ- terbagi dua :

    Satu: Makhluk-makhluk yang diadakan dan diciptakan oleh Allah Ta’âlâ.

    Dua: Perintah-perintah yang Allah memerintah makhluk dengannya, baik itu perintah kauny maupun perintah syari’iy.

    Sedangkan Allah Subhânahu wa Ta’âlâ telah berfirman,

    “Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah.” [Al-A’râf :54]

    Dan telah dimaklumi bahwa segala ciptaan dan perintah Allah adalah baik dibangun di atas kemaslahatan, rahmat dan kasih sayang untuk segenap makhluk. Dan seluruh hal tersebut adalah pengaruh dari kandungan Al-Asmâ` Al-Husnâ. Karena itu, para ulama mengatakan bahwa penciptaan dan perintah adalah bersumber dari Al-Asmâ` Al-Husnâ Allah Jalla Jalâluhu. Sebagaimana segala yang ada -selain Allah- karena diadakan oleh Allah dan keberadaan selain-Nya adalah ikut kepada beradaan-Nya, dan makhlluk yang dicipta ikut kepada Yang Menciptakannya, maka demikian pula ilmu tentang Allah adalah sumber segala ilmu yang lainnya. Maka berilmu tentang Al-Asmâ` Al-Husnâ adalah sumber ilmu pengetahuan selainnya. Demikian makna keterangan Ibnul Qayyim dalam kitabnya Badâ`i’ul Fawâ`id 1/163

    Sepuluh: Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,

    إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مِائَةً إِلَّا وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ

    “Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama, seratus kecuali satu. Siapa yang menghitungnya maka ia akan masuk sorga.”

    Insya Allah akan datang pembahasan berkaitan dengan makna menghitung Al-Asmâ` Al-Husnâ bahwa maknanya bukan hanya sekedar menjumlah dan menghafalkannya, bahkan juga mengetahui makna dan kandungannya. Sehingga tiada jalan bagi siapa yang ingin meraih keutamaan yang tersurat dalam hadits di atas kecuali dengan mempelajari Al-Asmâ` Al-Husnâ sesuai dengan jalan yang benar dan pemahaman lurus.

    Sebelas: Ayat-ayat yang menyebutkan nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah yang paling agung kedudukannya dalam Al-Qur`ân al-Karîm melebihi yang lainnya[10]. Karena itu, ayat yang paling agung adalah ayat Al-Kursi -yang mengandung sejumlah sifat dan beberapa nama Allah-, sebagaimana yang diterangkan dalam hadits Ubay bin Ka’ab radhiyallâhu ‘anhu, dimana Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bertanya kepada beliau,

    يَا أَبَا الْمُنْذِرِ أَتَدْرِي أَيُّ آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ مَعَكَ أَعْظَمُ قَالَ قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ يَا أَبَا الْمُنْذِرِ أَتَدْرِي أَيُّ آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ مَعَكَ أَعْظَمُ قَالَ قُلْتُ { اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ } قَالَ فَضَرَبَ فِي صَدْرِي وَقَالَ وَاللَّهِ لِيَهْنِكَ الْعِلْمُ أَبَا الْمُنْذِرِ

    (“Wahai Abul Mundzir (Ubay), ayat apa yang paling agung dari kitab Allah yang kamu hafal?” Saya (Ubay) menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau (kembali) bertanya, “Wahai Abul Mundzir, ayat apa yang paling agung dari kitab Allah yang kamu hafal?” Saya menjawab, “Allahu Laa Ilaaha Illaa Huwal Hayyul Qayyum [ayat Al-Kursi].” Maka Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam memukul dadaku seraya berkata, “Demi Allah, ilmu akan membahagiakanmu wahai Abul Mundzir.”) [11]

    Dan demikian pula keberadaan dan keutamaan surah Al-Fatihah yang telah dikenal dan dimaklumi. Diantara Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam mensifatkan surah Al-Fatihah dalam sabdanya,

    هِيَ أَعْظَمُ السُّوَرِ فِي الْقُرْآنِ

    “(Al-Fâtihah) adalah seagung-agung surah dalam Al-Qur`ân.” [12]

    Dan juga keutamaan surah Al-Ikhlash yang mengandung penyebutan nama-nama dan sifat-sifat Allah. Salah satu keutamaannya, adalah tertera dalam sabda Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam,

    وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّهَا لَتَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ

    “Demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya (surah Al-Ikhlash) senilai sepertiga Al-Qur`ân.” [13]

    Keterangan di atas menunjukkan keagungan dan kemuliaan mempelajari nama-nama dan sifat-sifat Allah ‘Azza wa Jalla.

    Demikian beberapa hal yang menunjukkan pentingnya mempelajari Al-Asmâ` Al-Husnâ dan betapa butuhnya seorang hamba untuk mendalaminya.

    Dan perlu kami ingatkan, bahwa pembahasan Al-Asmâ` Al-Husnâ adalah pembahasan yang bersumber dari Al-Qur`ân dan As-Sunnah, bukan bersumber dari akal, perasaan, eksperimen, inspirasi, maupun adat istiadat. Ini adalah kaidah dasar yang harus kami ingatkan dalam tulisan ini, mengingat banyak dari kalangan kaum muslimin yang tertipu dengan kepandaian sebagian orang yang hanya berlari di belakangan dunia atau terkungkung oleh hawa nafsu dan was-was syaithan dengan membawakan kandugan dan manfaat Al-Asmâ` Al-Husnâ yang tidak pernah ditunjukkan oleh tuntunan Al-Qur`ân dan As-Sunnah.

    Semoga Allah memudahkan untuk kita semua segala sebab kebaikan dan menjauhkan kita semua dari segala kejelekan. Wallahu Ta’âlâ A’lam.

    Catatan kaki:

    [1] Baca Ahkâm Al-Qur`ân 2/793 –dengan perantara kitab Asmâ`ullahi wa Shifâtuhu karya Al-Asyqar hal 23-

    [2] At-Taudhîh wa Al-Bayân li Syajarah Al-Imân hal. 41

    [3] Ar-Rahmân dan Ar-Rahîm keduanya berasal kata “rahmat”. Dan ada rincian makna kata rahmat pada nama Ar-Rahmân dan kata rahmat pada nama Ar-Rahîm. Insya Allah akan datang penjelasan tentang makna dan kandungan kedua nama itu.

    [4] Ada perbincangan seputar keabasahan penamaan ini. Insya Allah akan datang pembahasannya.

    [5] Ada perbincangan seputar keabasahan penamaan ini. Insya Allah akan datang pembahasannya.

    [6] Ada perbincangan seputar keabasahan penamaan ini. Insya Allah akan datang pembahasannya.

    [7] Petikan dari hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu riwayat Muslim.

    [8] Yang witir mempunyai banyak kandungan maknanya. Insya Allah akan diuraikan dalam pembahasan nama Al-Witr.

    [9] ‘Idah Ash-Shôbirîn hal 241 dan baca juga Madârij As-SâlikînMiftâh Dâr As-Sa’âdah 1/420 dan 1/3.

    [10] Baca keterangan Ibnu Taimiyah dalam Da`ut Ta’ârudh bain Al-‘Aql wa An-Naql 5/310-313

    [11] Dikeluarkan oleh Imam Muslim no. 810 dan Abu Dâud no. 1460.

    [12] Dikeluarkan oleh Imam Al-Bukhâry , Abu Dâud no. 1458, An-Nasâ`i 2/193, dan Ibnu Mâjah no. 3785 dari Abu Sa’îd Al-Mu’allâ radhiyallâhu ‘anhu.

    [13] Dikeluarkan oleh Al-Bukhâry, Abu Dâud no. 1461 dan An-Nasâ`i 2/171 dari Abu Sa’îd Al-Khudry radhiyallâhu ‘anhu. Dan dikeluarkan pula oleh Muslim no. 812, At-Tirmidzy no. 2899 dan Ibnu Mâjah no. 3738 dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu dan Muslim no. 811dari Abu Dardâ` radhiyallâhu ‘anhu.

    Sumber: http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=asmaulhusna&article=86

    Read more…
  • Perbedaan Iman dan Islam

    Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dengan sanadnya yang bersambung kepada Yahya bin Ya’mur –rahimahullah-, ia berkata: “Sesungguhnya orang pertama yang mengingkari taqdir adalah Ma’bad Al-Juhani di Bashrah. Karena itu ketika aku berangkat haji bersama Humaid ibnu Abdirrahman Al-Himyari dan sampai di Madinah, kami berkata: “Semoga saja kita bisa bertemu dengan beberapa Shahabat.” Dan kamipun bertemu dengan Abdullah bin ‘Umar –radhiyallahu ‘anhumaa- di Masjid, maka kami apit dia antara aku dan shahabatku.

    Berkata Yahya bin Ya’mur: “Aku menduga bahwa shahabatku akan meminta aku untuk berbicara, maka aku berbicara: “Wahai Aba Abdirrahman, sesungguhnya di tempat kami ada beberapa orang yang membaca Al-Qur’an, namun mereka mengingkari adanya taqdir dan bahwasanya segala sesuatu terjadi begitu saja”. Ibnu ‘Umar –radhiyallahu ‘anhumaa- berkata: “Jika engkau bertemu mereka khabarkanlah bahwa aku berlepas diri dari mereka dan mereka berlepas diri dariku. Demi Allah yang ibnu ‘Umar bersumpah dengan-Nya, kalau saja salah seorang dari mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud kemudian di infakannya, niscaya Allah tidak akan menerimanya sampai dia beriman kepada taqdir baik dan buruknya.

    Kemudian Ibnu ‘Umar berkata: “Telah menyampaikan kepadaku ‘Umar bin Khathab –radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata: “Ketika kami sedang duduk di dekat Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang berpakaian putih bersih, berambut hitam pekat, tidak Nampak sedikitpun padanya tanda-tanda dari perjalanan jauh dan tidak seorangpun di antara kami yang mengenalinya, sampai akhirnya ia duduk menghadap Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam-, lalu ia menyandarkan lututnya kepada lutut Nabi dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua paha Nabi, seraya berkata: “Ya Muhammad terangkan kepadaku tentang Islam.” Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- menjawab: “Islam adalah engkau bersaksi tiada ilah yang berhaq disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan engkau berhaji ke Baitullah jika engkau mampu untuk menunaikannya.” Ia berkata: “Engkau benar!” Kami merasa heran kepadanya, ia yang bertanya dan ia juga yang membenarkannya.

    Kemudian dia berkata lagi: “Khabarkan kepadaku tentang Iman.” Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- menjawab: “(Iman itu adalah) engkau beriman kepada Allah, kepada Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, dan hari akhir, serta engkau beriman kepada taqdir baik dan buruknya.” Ia berkata: “Engkau benar!”

    Lalu ia berkata: “Selanjutnya terangkan kepadaku tentang Ihsan!” Rasulullah menjawab: “Yaitu hendaknya engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau merasa tidak melihat-Nya, ketahuilah bahwa dia selalu melihatmu”.

    Orang itu kembali bertanya: “Beritahukan kepadaku kapan terjadinya hari kiamat?” Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- menjawab: “Tidaklah yang ditanya lebih mengetahui dari yang bertanya.” Orang tersebut kembali bertanya: “Kalau begitu beritahukan aku tentang tanda-tandanya.” Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- menjawab: “Yaitu apabila budak perempuan melahirkan majikannya dan engkau melihat seseorang yang tidak beralas kaki, telanjang, papa dan penggembala saling berlomba-lomba dalam meninggikan bangunannya.”

    Kemudian orang tersebut berlalu (pergi). Maka kami terdiam untuk beberapa saat. Lalu Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- berkata: “Dia adalah Jibril. Ia datang untuk mengajari kalian tentang agama kalian.” (HR. Muslim)

    Di dalam hadits Jibril –‘alaihi salam- diatas kita melihat bahwa Islam dan Iman adalah dua perkara yang berbeda. Ketika ditanya tentang Islam, Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- menjawab dengan amalan-amalan dhahir (amalan lahiriah). Sedangkan ketika ditanya tentang Iman Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- menjawabnya dengan amalan-amalan bathin (amalan hati) yaitu tentang keyakinan dan kepercayaan.

    Walaupun Islam dan Iman hampir tidak bisa dipisahkan, amalan hati dalam bentuk keyakinan pasti akan mempengaruhi amalan-amalan dhahir. Demikian pula sebaliknya, amalan dhahir tidak akan bermakna tanpa disertai dengan niat lurus yang berada dalam hati. Maka amalan-amalan dhahir seperti mengucapkan dua kalimat syahadat, shalat, zakat, belum tentu akan menjadi amalan yang berarti disisi Allah hingga diiringi keyakinan dan keikhlasan di dalam hati.

    Allah –Subhanahu wa ta’ala- juga memerintahkan Nabi –shalallahu ‘alaihi wa sallam- untuk menegur orang-orang Arab Baduy; dan menyatakan bahwa mereka belum beriman, ketika mereka datang dalam keadaan mengira –dengan keislamannya- telah memberikan jasa dan keuntungan kepada Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam-. Allah –Ta’ala- berfirman:

    “Orang-orang Arab Baduy itu berkata: ‘Kami telah beriman’. Katakanlah (kepada mereka): “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah: ‘Kalian telah menjadi muslim’, karena iman itu belum masuk ke dalam hati kalian….” (Al Hujuraat:14)

    Maka ayat ini pun menunjukkan perbedaan Islam dengan Iman; bahwasanya amalan-amalan dhahir hanya menunjukkan keislaman seseorang, adapun iman akan tumbuh sesuai dengan keyakinan hatinya. Oleh karena itulah orang-orang Arab gunung tadi dinyatakan oleh Allah –Subhanahu wa Ta’ala- yang Maha Mengetahui bahwa keimanan belum masuk pada diri mereka.

    Tentunya amalan hati tidak bisa dilihat oleh kita sebagai manusia biasa, namun bisa dilihat dari tanda-tandanya. Tentu akan berbeda seorang yang shalat hanya karena terpaksa dengan tanpa keikhlasan dalam hatinya, seperti shalatnya kaum munafiqin. Allah gambarkan mereka dalam ayat-Nya:

    “Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali”. (An-Nisaa:142)

    Demikian pula pada kisah A’rabi (orang-orang Arab gunung) diatas. Ada beberapa tanda bahwa keimanan belum masuk pada hati mereka; Pertama mereka memanggil Nabi –shalallahu ‘alaihi wa sallam- dari luar bilik dengan tidak sopan, maka Allah menghibur Nabi-Nya dengan menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang bodoh.

    “Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar bilik(mu) kebanyakan mereka adalah orang yang bodoh”. (Al-Hujuraat:4)

    Kedua mereka mengira bahwa keislaman mereka menguntungkan dan memberikan jasa kepada Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam-. Padahal sebaliknya justru Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- memberikan jasa kepada mereka dan Allah –Ta’ala- yang memberikan hidayah kepada mereka. Allah –Ta’ala- berfirman:

    “Mereka merasa telah member ni’mat kepadamu dengan keIslaman mereka. Katakanlah: “Janganlah kamu merasa telah member ni’mat kepadaku dengan keislaman, sebenarnya Allah yang melimpahkan ni’mat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan”. (Al-Hujuraat:17)

    Demikian pula para Salafush-Shalih tidak mudah untuk mengucapkan kami beriman atau mereka beriman, cukup mereka menyatakan mereka muslim dan muslimuun. Bahkan ada sebagian pendapat ulama seperti Imam Al-Laalika’i –rahimahullah- yang menyatakan wajibnya memakai kalimat Insya Allah dalam iman seperti kalimat: “ana mu’minuun InsyaAllah” artinya: “Saya seorang beriman InsyaAllah”. (Lihat Ushul I’tiqad Ahlus-Sunnah oleh Imam Al-Laalika’i:5/965)

    “Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa”. (An-Najm:32)

    Namun Syaikh Ibnu ‘Utsaimin –rahimahullah- menyatakan dalam masalah Iman dan Islam;

    “Kalau disebut bersama maknanya berbeda, kalau disebut terpisah maknanya sama”.

    Sehingga kalimat saya mukmin bisa diucapkan dengan maksud saya muslim. Namun tentunya yang lebih selamat kita menyatakan saya muslim dengan berharap dan berdo’a agar Allah menambah dan menyempurnakan keimanan kita. Wallahu a’lam.

    Sumber: Risalah Dakwah MANHAJ SALAF 25 Rabii’uts-Tsani 1429H / 02 Mei 2008

    Read more…
  • Horoskop atau mudahnya kita sebut ramalan nasib seseorang dengan melihat bintang kelahirannya, termasuk satu kolom atau rubrik yang laris manis di surat kabar, tabloid, ataupun majalah. Bahkan bisa ditanyakan lewat sms ke paranormal tertentu yang memasang iklan di sejumlah media. Yang berbintang pisces, pantasnya berjodoh dengan yang berbintang A. Keberuntungan di tahun ini demikian dan demikian… Dalam waktu-waktu dekat ini ia jangan bepergian keluar kota karena bahaya besar mengancamnya di perjalanan. Untuk yang berbintang sagitarius, tahun ini lagi apes… Tapi di penghujung tahun akan untung besar, maka bagusnya ia usaha begini dan begitu… Cocoknya ia mencari pasangan gemini. Demikian contoh ramalan yang ada!

    Anehnya, ramalan dusta seperti ini banyak yang percaya. Bahkan di antara mereka bila melihat surat kabar atau majalah, rubrik dusta ini yang pertama kali mereka baca. Khususnya yang menyangkut bintang kelahiran mereka atau bintang kelahiran kerabat dan sahabat mereka. Ada yang menggantungkan usaha mereka dengan ramalan bintang, untuk mencari jodoh lihat apa bintangnya dan seterusnya.

    Meyakini bahwa bintang-bintang memiliki pengaruh terhadap kejadian di alam ini hukumnya haram. Kejadian seperti ini bukan muncul belakangan behkan merupakan keyakinan kuno, keyakinan kaum Namrud, raja yang kafir zalim, yang kepada mereka Nabiullah Ibrahim ‘alaihissalam diutus. Mereka dinamakan kaum Shabi`ah, para penyembah bintang-bintang. Mereka membangun haikal dan rumah-rumah ibadah untuk menyembah bintang-bintang tersebut. Mengakar dalam keyakinan mereka bahwa bintang-bintang mengatur perkara di alam ini. Wallahul musta’an (Allah Subhanahu wa Ta’ala sajalah yang dimintai pertolongan-Nya), keyakinan syirik tersebut telah diwarisi oleh umat yang datang setelah mereka. (I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitabit Tauhid, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah, 2/19)

    Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan bintang-bintang bukan untuk dijadikan tandingan-Nya sebagai pengatur alam semesta ini, atau sekadar memberi pengaruh terhadap kejadian di muka bumi. Sungguh, bintang-bintang tidak ada hubungannya dengan nasib dan keberuntungan seseorang.

    Qatadah ibnu Di’amah As-Sadusi rahimahullahu, seorang imam yang mulia dalam masalah tafsir, hadits, dan ilmu yang lainnya mengatakan, “Allah ‘Azza wa Jalla menciptakan bintang-bintang ini untuk tiga hikmah atau faedah, Pertama: sebagai penghias langit. Kedua: sebagai pelempar setan. Ketiga: sebagai tanda-tanda dijadikan petunjuk. Siapa yang menafsirkan dengan selain tiga faedah tersebut, sungguh ia telah salah dan menyia-nyiakan bagiannya[1]. Ia juga telah membebani dirinya dengan sesuatu yang tidak memiliki ilmu tentangnya.” (Diriwayatkan oleh Al Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam Shahih-nya, Kitab Bad`ul Khalqi, bab Fin Nujum)

    Faedah pertama dari penciptaan bintang-bintang ditunjukkan seperti dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla:

    إِنَّا زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِزِينَةٍ الْكَوَاكِبِ

    “Sesungguhnya Kami menghiasi langit dunia dengan perhiasan bintang-bintang.” (Ash Shaffat: 6)

    Faedah kedua sebagai pelempar setan, seperti dalam ayat:

    وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَجَعَلْنَاهَا رُجُومًا لِلشَّيَاطِينِ ۖ وَأَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابَ السَّعِيرِ

    “Sungguh Kami telah menghiasi langit dunia dengan pelita-pelita dan Kami jadikan pelita-pelita tersebut sebagai pelempar para setan….” (Al-Mulk: 5)

    Kenapa setan-setan itu dilempar? Karena mereka berupaya mencuri berita dari para malaikat di langit untuk kemudian disampaikan kepada dukun/tukang ramal, kekasih mereka dari kalangan manusia. Lalu dukun ini mencampurinya dengan seratus kedustaan.

    Sebelum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam diutus, para setan ini bebas mencuri berita dari langit. Namun ketika beliau telah diangkat sebagai nabi dan rasul, Allah ‘Azza wa Jalla menjaga langit dengan panah-panah api yang dilepaskan dari bintang-bintang sehingga membakar dan membinasakan setan yang jahat tersebut. Allah ‘Azza wa Jalla menyampaikan kepada kita pengabaran para jin tentang diri mereka dalam ayat-Nya yang mulia:

    وَأَنَّا لَمَسْنَا السَّمَاءَ فَوَجَدْنَاهَا مُلِئَتْ حَرَسًا شَدِيدًا وَشُهُبًا وَأَنَّا كُنَّا نَقْعُدُ مِنْهَا مَقَاعِدَ لِلسَّمْعِ ۖ فَمَنْ يَسْتَمِعِ الْآنَ يَجِدْ لَهُ شِهَابًا رَصَدًا وَأَنَّا لَا نَدْرِي أَشَرٌّ أُرِيدَ بِمَنْ فِي الْأَرْضِ أَمْ أَرَادَ بِهِمْ رَبُّهُمْ رَشَدًا

    “Dan sesungguhnya kami telah mencoba mengetahui rahasia langit, maka kami mendapatinya penuh dengan penjagaan yang kuat dan panah-panah api. Dan sesungguhnya kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mendengar-dengarkan berita-beritanya. Tetapi sekarang barangsiapa yang mencoba mendengar-dengarkan seperti itu tentu akan menjumpai panah api yang mengintai untuk membakarnya. Dan sungguh dengan adanya penjagaan tersebut kami tidak mengetahui apakah keburukan yang dikehendaki bagi orang yang di bumi ataukah Rabb mereka menghendaki kebaikan bagi mereka.” (Al-Jin: 8-10)

    Faedah ketiga, bintang-bintang dijadikan sebagai tanda/petunjuk arah dan semisalnya. Sebagaimana Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

    وَأَلْقَىٰ فِي الْأَرْضِ رَوَاسِيَ أَنْ تَمِيدَ بِكُمْ وَأَنْهَارًا وَسُبُلًا لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

    “Dan Dia menancapkan gunung-gunung di bumi agar bumi itu tidak goncang bersama kalian dan Dia menciptakan sungai-sungai dan jalan-jalan agar kalian mendapatkan petunjuk. Dan Dia ciptakan tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk.“ (An-Nahl: 15)

    Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan tanda-tanda di bumi dan di langit bagi musafir sebagai penunjuk arah bagi mereka. Tanda-tanda di bumi seperti jalan-jalan dan gang-gang, demikian pula gunung-gunung. Tanda-tanda di langit berupa bintang, matahari dan bulan. Orang-orang menjadikan bintang-bintang sebagai petunjuk/tanda bagi mereka ketika mereka melakukan perjalanan. Terlebih lagi di tengah lautan yang tidak bergunung dan tidak ada rambu-rambu. Demikian pula perjalanan di malam hari, dengan melihat bintang tertentu mereka jadi mengerti arah sehingga mereka bisa menuju arah yang mereka inginkan. (I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitabit Tauhid, 2/21)

    Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

    وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ النُّجُومَ لِتَهْتَدُوا بِهَا فِي ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ ۗ قَدْ فَصَّلْنَا الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

    “Dan Dia-lah yang menjadikan bintang-bintang untuk kalian agar kalian menjadikannya sebagai petunjuk dalam kegelapan di daratan dan di lautan.” (Al-An’am: 97)

    Maksudnya, dengan bintang-bintang tersebut kalian dapat mengetahui arah tujuan kalian (dalam perjalanan). Bukankah yang dimaksudkan di sini bahwa bintang-bintang itu dijadikan petunjuk dalam ilmu gain, sebagaimana diyakini oleh para ahli nujum. (Fathul Majid, 2/529)

    Siapa yang ingin menambah lebih dari tiga perkara ini seperti meyakini bintang-bintang itu menunjukkan kejadian di muka bumi, turunnya hujan, berhembusnya angin, kematian atau kehidupan seseorang, maka semuanya itu mengada-ada dan mengaku-aku tahu ilmu gaib. Padahal tidak ada yang tahu tentang perkara gaib kecuali hanya Allah ‘Azza wa Jalla. Dia Yang Maha Suci berfirman:

    قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ ۚ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ

    “Katakanlah (ya Muhammad) tidak ada seorang pun yang ada di langit dan di bumi mengetahui perkara gaib kecuali Allah saja.” (An-Naml: 65)

    Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh rahimahullahu berkata mengomentari ucapan Qatadah di atas, “Perhatikanlah kemungkaran yang diingkari oleh Imam ini yang terjadi di masa tabi’in hingga sampai pada puncaknya di masa-masa ini. Bala merata di seluruh penjuru negeri, baik sedikit maupun banyak. Namun jarang didapatkan orang yang mengingkarinya dalam agama. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” (Fathul Majid, 2/528-529)

    Meramal nasib dengan gerakan-gerakan bintang dan bentuknya termasuk dalam apa yang diistilahkan dengan ilmu ta`tsir, yaitu keyakinan bahwa bintang-bintang memberi pengaruh di alam ini. Ilmu ini haram hukumnya. Ilmu ini terbagi tiga macam, sebagiannya lebih haram daripada yang lainnya.

    Pertama: meyakini bahwa bintang-bintang itulah yang menjadikan peristiwa-peristiwa di alam ini baik berupa kebaikan ataupun kejelekan, sakit ataupun sehat, paceklik ataupun panen raya, dan selainnya. Sumber kejadian di alam ini adalah gerakan-gerakan dan bentuk-bentuk bintang. Keyakinan kaum Shabi`ah ini merupakan penentangan kepada Sang Pencipta ‘Azza wa Jalla, karena menganggap adanya pencipta selain Dia, dan merupakan kekufuran yang nyata berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.

    Kedua: seseorang tidak meyakini bahwa bintang-bintang itu yang menjadikan peristiwa di alam ini. Tapi menurutnya bintang-bintang itu hanya sebab yang memberi pengaruh. Adapun yang menciptakan adalah Allah ‘Azza wa Jalla. Keyakinan ini pun batil, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak pernah menjadikan bintang-bintang itu sebagai sebab, dan bintang tersebut tidak ada hubungannya dengan apa yang berlangsung di alam ini.

    Ketiga: menjadikan bintang-bintang sebagai petunjuk atas kejadian yang akan datang. Ini merupakan bentuk pengakuan terhadap ilmu gaib, masuk dalam katagori perdukunan serta sihir. Hukumnya kafir menurut kesepakatan kaum muslimin. (Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin rahimahullah 2/5,6)

    Ketiga macam ilmu ta`tsir ini batil, kata Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah. Namun sayangnya, perkara batil ini disebarkan di kolom khusus pada sebagian majalah yang tidak berpegang dengan ajaran Islam. Disebutkan bahwa pada bintang A akan diperoleh ini dan itu bagi siapa yang melangsungkan pernikahan, atau siapa yang berjual beli akan beroleh laba. Sementara bintang B nahas/sial. Semua itu termasuk keyakinan jahiliah. (I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitabit Tauhid, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah, 2/25)

    Al-Khaththabi rahimahullah berkata, “Ilmu nujum (perbintangan) yang terlarang adalah ilmu yang diaku-akui oleh ahli nujum bahwa mereka punya pengetahuan tentang alam dan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi di masa datang. Seperti, kapan waktu berhembusnya angin dan datangnya hujan, dan kapan terjadi perubahan harga, ataupun yang semakna dengannya berupa perkara-perkara–menurut pengakuan dusta mereka– yang dapat diketahui dari perjalanan bintang-bintang di garis edarnya dan dari berkumpul atau berpisahnya bintang-bintang tersebut. Mereka mengaku-aku bahwa bintang-bintang tersebut punya pengaruh terhadap alam bawah (bumi).” (Ma’alimus Sunan 4/230, sebagaimana dinukil dalam Fathul Majid 2/527)

    Demikianlah. Maka jangan percaya dengan bualan si tukang ramal, apapun sebutan untuknya. Jangan pula percaya dengan omong kosong ramalan bintang. Jangan korbankan akidah dan jangan rusak tauhid anda! Wallahu a’lam bish-shawab.

    Catatan kaki:
    [1] Karena ia telah menyibukkan dirinya dengan perkara yang memudharatkannya dan tidak memberikan manfaat kepadanya. (Fathul Majid, 2/530)



    Read more…
  • Kunci-Kunci Surga

    Ibarat sebuah pintu, surga membutuhkan sebuah kunci untuk membuka pintu-pintunya. Namun, tahukah Anda apa kunci surga itu? Bagi yang merindukan surga, tentu akan berusaha mencari kuncinya walaupun harus mengorbankan nyawa.

    Tetapi Anda tak perlu gelisah, Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan pada umatnya apa kunci surga itu, sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits yang mulia, beliau bersabda:

    “Barang siapa mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah dengan penuh keikhlasan, maka dia akan masuk surga.“ (HR. Imam Ahmad dengan sanad yang shahih).

    Ternyata, kunci surga itu adalah Laa ilaahaa illallah, kalimat Tauhid yang begitu sering kita ucapkan. Namun semudah itukah pintu surga kita buka? Bukankah banyak orang yang siang malam mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah, tetapi mereka masih meminta-minta (berdoa dan beribadah) kepada selain Allah, percaya kepada dukun-dukun dan melakukan perbuatan syirik lainnya? Akankah mereka ini juga bisa membuka pintu surga? Tentu tidak mungkin!

    Dan ketahuilah, yang namanya kunci pasti bergerigi. Begitu pula kunci surga yang berupa Laa ilaaha illallah itu, ia pun memiliki gerigi. Jadi, pintu surga itu hanya bisa dibuka oleh orang yang memiliki kunci yang bergerigi.

    Al Imam Al Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya (3/109), bahwa seseorang pernah bertanya kepada Al Imam Wahab bin Munabbih (seorang tabi’in terpercaya dari Shan’a yang hidup pada tahun 34-110 H), “Bukankah Laa ilaaha illallah itu kunci surga?” Wahab menjawab: “Benar, akan tetapi setiap kunci yang bergerigi. Jika engkau membawa kunci yang bergerigi, maka pintu surga itu akan dibukakan untukmu!”

    Lalu, apa gerangan gerigi kunci itu Laa ilaaha illallah itu?

    Ketahuilah, gerigi kunci Laa ilaaha illallah itu adalah syarat-syarat Laa ilaaha illallah. Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qashim Al Hambali An-Najdi rahimahullah, penyusun kitab Hasyiyyah Tsalatsatil Ushul, pada halaman 52 kitab tersebut menyatakan, syarat-syarat Laa ilaaha illallah itu ada delapan, yaitu:

    Pertama: Al ‘Ilmu (mengetahui)
    Maksudnya adalah Anda harus mengetahui arti (makna) Laa ilaaha illallah secara benar. Adapun artinya adalah: “Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah.”

    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

    “Barang siapa mati dalam keadaan mengetahui bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, niscaya dia akan masuk surga.” (HR. Muslim).

    Seandainya Anda mengucapkan kalimat tersebut, tetapi Anda tidak mengerti maknanya, maka ucapan atau persaksian tersebut tidak sah dan tidak ada faedahnya.

    Kedua: Al Yaqin (Meyakini)
    Maksudnya adalah Anda harus menyakini secara pasti kebenaran kalimat Laa ilaaha illallah tanpa ragu dan tanpa bimbang sedikitpun. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

    “Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak di sembah kecuali Allah dan aku adalah utusan Allah. Tidaklah seorang hamba bertemu dengan Allah sambil membawa dua kalimat syahadat tersebut tanpa ragu kecuali pasti dia akan masuk surga.” (HR. Muslim).

    Ketiga: Al Qobul (Menerima)
    Maksudnya Anda harus menerima segala tuntunan Laa ilaaha illallah dengan senang hati, baik secara lisan maupun perbuatan, tanpa menolak sedikit pun. Anda tidak boleh seperti orang-orang musyirik yang digambarkan oleh Allah dalam Al Qur’an:

    إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ * وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُو آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ

    “Orang-orang yang musyrik itu apabila di katakan kepada mereka: (ucapkanlah) Laa ilaaha illallah, mereka menyombongkan diri seraya berkata: Apakah kita harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kita hanya karena ucapan penyair yang gila ini?” (Ash Shaffat: 35-36).

    Keempat: Al Inqiyad (Tunduk Patuh)
    Maksudnya Anda harus tunduk dan patuh melaksanakan tuntunan Laa ilaaha illallah dalam amal-amal nyata. Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman:

    وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ

    “Kembalilah ke jalan Tuhanmu, dan tunduklah kepada-Nya.“ (Az-Zumar: 54).

    Allah Ta’ala juga berfirman:

    وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى

    “Dan barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada ikatan tali yang amat kokoh (yakni kalimat Laa ilaaha illallah).” (Luqman: 22).

    Kelima: Ash Shidq (Jujur atau Benar)
    Maksudnya Anda harus jujur dalam melaksanakan tuntutan Laa ilaaha illallah, yakni sesuai antara keyakinan hati dan amal nyata, tanpa disertai kebohongan sedikit pun.

    Nabi Shalallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

    “Tidaklah seseorang itu bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak di sembah kecuali Allah dan Muhammad itu adalah hamba dan utusan-Nya, dia mengucapkannya dengan jujur dari lubuk hatinya, melainkan pasti Allah mengharamkan neraka atasnya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).

    Keenam: Al Ikhlas (Ikhlas)
    Maksudnya Anda harus membersihkan amalan Anda dari noda-noda riya’ (amalan ingin di lihat dan dipuji oleh orang lain), dan berbagai amalan kesyirikan lainnya.

    Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

    “Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah semata-mata hanya untuk mengharapkan wajah Allah Azza wa Jalla.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).

    Ketujuh: Al Mahabbah (Cinta)

    Maksudnya Anda harus mencintai kalimat tauhid, tuntunannya, dan mencintai juga kepada orang-orang yang bertauhid dengan sepenuh hati, serta membenci segala perkara yang merusak tauhid itu.

    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

    وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ

    “Dan di antara manusia ada yang menbuat tandingan-tandingan (sekutu) selain Allah yang dicintai layaknya mencintai Allah. Sedangkan orang-orang yang beriman, sangat mencintai Allah di atas segala-galanya).” (Al-Baqarah: 165).

    Dari sini kita tahu, Ahlut Tauhid mencintai Allah dengan cinta yang tulus bersih. Sedangkan ahlus syirik mencintai Allah dan mencintai tuhan-tuhan yang lainnya. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan isi kandungan Laa ilaaha illallah.(ed,).

    Kedelapan: Al Kufru bimaa Siwaahu (Mengingkari Sesembahan yang Lain)

    Maksudnya Anda harus mengingkari segala sesembahan selain Allah, yakni tidak mempercayainya dan tidak menyembahnya, dan juga Anda harus yakin bahwa seluruh sesembahan selain Allah itu batil dan tidak pantas disembah.

    Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan:

    فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا

    “Maka barang siapa mengingkari thoghut (sesembahan selain Allah) dan hanya beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang teguh pada ikatan tali yang amat kokoh (yakni kalimat Laa ilaaha illallah), yang tidak akan putus….” (Al-Baqarah: 256).

    Saudaraku kaum muslimin, dari sini dapatlah kita ketahui, bahwa orang yang mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah hanya dengan lisannya tanpa memenuhi syarat-syaratnya, dia bagaikan orang yang memegang kunci tak bergerigi, sehingga mustahil baginya untuk membuka pintu surga, walaupun dia mengucapkannya lebih dari sejuta banyaknya. Karena itu perhatikanlah!

    Wallahu a’lamu bish shawwab.

    )* Penulis -hafizhahullah- adalah Pimpinan Pondok Pesantren Al Bayyinah Sidayu Gresik

    http://blog.wira.web.id/2010/02/10/kunci-surga

    Read more…
  • Jauhilah Sifat-sifat Munafik

    Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan kekuasaan dan hikmah-Nya yang sempurna menjadikan dunia serta perhiasannya yang fana ini sebagai medan ujian dan cobaan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

    الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

    “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (Al-Mulk: 2)

    الم. أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ

    “Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi?” (Al-’Ankabut: 1-2)

    Selanjutnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan rahmah-Nya memberitahukan kepada hamba-hamba-Nya hikmah dihadapkannya mereka kepada berbagai ujian dan cobaan itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

    وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ

    “Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Al-’Ankabut: 3)

    Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu menyatakan dalam tafsirnya: “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang hikmah-Nya yang sempurna. Di mana sifat hikmah-Nya mengharuskan setiap orang yang mengaku beriman tidak akan dibiarkan begitu saja dengan pengakuannya. Pasti dia akan dihadapkan pada berbagai ujian dan cobaan. Bila tidak demikian, niscaya tidak bisa terbedakan antara orang yang benar dan jujur dengan orang yang dusta. Tidak bisa terbedakan pula antara orang yang berbuat kebenaran dengan orang yang berbuat kebatilan. Sudah merupakan ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dia menguji (manusia) dengan kelapangan dan kesempitan, kemudahan dan kesulitan, kesenangan dan kesedihan, serta kekayaan dan kemiskinan.”

    Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu menyatakan dalam tafsirnya: “(Agar terbedakan) orang-orang yang benar dalam pengakuannya dari orang-orang yang dusta dalam ucapan dan pengakuannya. Sedangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha mengetahui apa yang telah terjadi, yang sedang terjadi, dan yang akan terjadi. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga mengetahui cara terjadinya sesuatu bila hal itu terjadi. Hal ini adalah prinsip yang telah disepakati (ijma’) oleh para imam Ahlus Sunnah wal Jamaah.”

    Allah Subhanahu wa Ta’ala bahkan telah mengabarkan:

    وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا

    “Dan Kami jadikan sebagian kamu cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar? Dan adalah Rabbmu Maha melihat.” (Al-Furqan: 20)

    Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu menerangkan maksud ayat di atas dalam tafsirnya: “Seorang rasul adalah ujian bagi umatnya, yang akan memisahkan orang-orang yang taat dengan orang-orang yang durhaka terhadap rasul tersebut. Maka Kami jadikan para rasul sebagai ujian dan cobaan untuk mendakwahi kaum mereka. Seorang yang kaya adalah ujian bagi yang miskin. Demikian pula sebaliknya. Orang miskin adalah ujian bagi orang kaya. Semua jenis tingkatan makhluk (merupakan ujian dan cobaan bagi yang sebaliknya) di dunia ini. Dunia yang fana ini adalah medan yang penuh ujian dan cobaan.”

    Dari penjelasan Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu di atas, kita dapatkan faedah bahwa: seorang istri adalah ujian bagi suaminya, anak adalah ujian bagi kedua orangtuanya, pembantu adalah ujian bagi tuannya, tetangga adalah ujian bagi tetangga yang lainnya, rakyat adalah ujian bagi pemerintahnya, dan sebagainya. Begitu pula sebaliknya.

    Selanjutnya, Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu menerangkan: “Tujuannya adalah apakah kalian mau bersabar, kemudian menegakkan berbagai perkara yang diwajibkan atas kalian, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membalas amalan kebaikan kalian. Ataukah kalian tidak mau bersabar yang dengan sebab itu kalian berhak mendapatkan kemurkaan (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan siksaan?! Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

    زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

    “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali ‘Imran: 14)

    Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan bahwa kecintaan terhadap kenikmatan dan kesenangan dunia akan ditampakkan indah dan menarik di mata manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menyebutkan hal-hal ini secara khusus karena hal-hal tersebut adalah ujian yang paling dahsyat, sedangkan hal-hal lain hanyalah mengikuti. Maka, tatkala hal-hal ini ditampakkan indah dan menarik kepada mereka, disertai faktor-faktor yang menguatkannya, maka jiwa-jiwa mereka akan bergantung dengannya. Hati-hati mereka akan cenderung kepadanya.” (Taisir Al-Karimirrahman, hal. 124)

    Fitnah (godaan) wanita
    Betapa banyak lelaki yang menyimpang dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala karena godaan wanita. Betapa banyak pula seorang suami terjatuh dalam berbagai kezaliman dan kemaksiatan disebabkan istrinya. Sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala memperingatkan hamba-hamba-Nya yang beriman dengan firman-Nya:

    يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ

    “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka.” (At-Taghabun: 14)

    Al-Imam Mujahid rahimahullahu berkata: “Yakni akan menyeret orangtua atau suaminya untuk memutuskan tali silaturahim atau berbuat maksiat kepada Rabbnya, maka karena kecintaan kepadanya, suami atau orangtuanya tidak bisa kecuali menaatinya (anak atau istri tersebut).”

    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

    اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلْعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ مَا فِي الضِّلْعِ أَعْلَاهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ

    “Berniat dan berbuat baiklah kalian kepada para wanita. Karena seorang wanita itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, dan sesungguhnya rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Maka apabila kamu berusaha dengan keras meluruskannya, niscaya kamu akan mematahkannya. Sedangkan bila kamu membiarkannya niscaya akan tetap bengkok. Maka berwasiatlah kalian kepada para istri (dengan wasiat yang baik).” (Muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

    مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنََ النِّسَاءِ

    “Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah (ujian/godaan) yang lebih dahsyat bagi para lelaki selain fitnah wanita.” (Muttafaqun ‘alaih dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma)

    Al-Mubarakfuri rahimahullahu berkata: “(Sisi berbahayanya fitnah wanita bagi lelaki) adalah karena keumuman tabiat seorang lelaki adalah sangat mencintai wanita. Bahkan banyak terjadi perkara yang haram (zina, perselingkuhan, pacaran, dan pemerkosaan, yang dipicu [daya tarik] wanita). Bahkan banyak pula terjadi permusuhan dan peperangan disebabkan wanita. Minimalnya, wanita atau istri bisa menyebabkan seorang suami atau seorang lelaki ambisius terhadap dunia. Maka ujian apalagi yang lebih dahsyat darinya?

    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerupakan godaan wanita itu seperti setan, sebagaimana dalam hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang wanita. Kemudian beliau mendatangi Zainab istrinya, yang waktu itu sedang menyamak kulit hewan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menunaikan hajatnya (menggaulinya dalam rangka menyalurkan syahwatnya karena melihat wanita itu). Setelah itu, beliau keluar menuju para sahabat dan bersabda:

    إِنَّ الْمَرْأَةَ تُقْبِلُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ وَتُدْبِرُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ، فَإِذَا أَبْصَرَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا فِي نَفْسِهِ

    “Sesungguhnya wanita itu datang dalam bentuk setan dan berlalu dalam bentuk setan pula. Apabila salah seorang kalian melihat seorang wanita (dan bangkit syahwatnya) maka hendaknya dia mendatangi istrinya (menggaulinya), karena hal itu akan mengembalikan apa yang ada pada dirinya (meredakan syahwatnya).” (HR. Muslim)

    Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata dalam Syarah Shahih Muslim (8/187): “Para ulama mengatakan, makna hadits itu adalah bahwa penampilan wanita membangkitkan syahwat dan mengajak kepada fitnah. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan adanya kecenderungan atau kecintaan kepada wanita dalam hati para lelaki, merasa nikmat melihat kecantikannya berikut segala sesuatu yang terkait dengannya. Sehingga seorang wanita ada sisi keserupaan dengan setan dalam hal mengajak kepada kejelekan atau kemaksiatan melalui was-was serta ditampakkan bagus dan indahnya kemaksiatan itu kepadanya.

    Dapat diambil pula faedah hukum dari hadits ini bahwa sepantasnya seorang wanita tidak keluar dari rumahnya, (berada) di antara lelaki, kecuali karena sebuah keperluan (darurat) yang mengharuskan dia keluar.

    Oleh karena itulah, Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang segala sesuatu yang akan menyebabkan hamba-hamba-Nya terfitnah dengan wanita, seperti memandang, berkhalwat (berduaan dengan wanita yang bukan mahram), ikhtilath (campur-baur lelaki dan perempuan yang bukan mahram). Bahkan mendengarkan suara wanita yang bisa membangkitkan syahwat pun dilarang.

    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

    قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

    Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat. (An-Nur: 30)

    فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا

    “Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Al-Ahzab: 32)

    وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

    “Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Al-Isra’: 32)

    Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

    لَا يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ

    “Janganlah salah seorang kalian berduaan dengan seorang wanita kecuali bersama mahramnya.” (Muttafaqun ‘alaih)

    Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

    إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ: أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ

    “Jauhi oleh kalian masuk kepada para wanita.” Seorang lelaki Anshar bertanya: “Bagaimana pendapat anda tentang ipar?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Ipar itu berarti kebinasaan (banyak terjadi zina antara seorang lelaki dengan iparnya).” (Muttafaqun ‘alaih)

    Agar hamba-hamba-Nya selamat dari godaan wanita, Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menikah dengan wanita shalihah, yang akan saling membantu dengan dirinya untuk menyempurnakan keimanan dan ketakwaannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

    وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ

    “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.” (Al-Baqarah: 221)

    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

    تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

    “Seorang wanita itu dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, kebaikan nasabnya, kecantikannya, dan agamanya. Maka pilihlah wanita yang bagus agamanya, niscaya engkau akan beruntung.” (Muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

    Godaan dunia dan harta

    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

    إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ، وَإِنَّ اللهُ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ

    “Sesungguhnya dunia itu manis (rasanya) dan hijau (menyenangkan dilihat). Dan sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menggantikan sebagian kalian dengan sebagian yang lain di dalamnya, maka Dia akan melihat bagaimana kalian beramal dengan dunia tersebut. Oleh karena itu, takutlah kalian terhadap godaan dunia (yang menggelincirkan kalian dari jalan-Nya) dan takutlah kalian dari godaan wanita, karena ujian yang pertama kali menimpa Bani Israil adalah godaan wanita.” (HR. Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)

    إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً، وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ

    “Sesungguhnya setiap umat itu akan dihadapkan dengan ujian (yang terbesar). Dan termasuk ujian yang terbesar yang menimpa umatku adalah harta.” (HR. At-Tirmidzi dari ‘Iyadh bin Himar radhiyallahu ‘anhu)

    Harta dan dunia bukanlah tolok ukur seseorang itu dimuliakan atau dihinakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana firman-Nya:

    فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ. وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ

    Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata: “Rabbku telah memuliakanku.” Adapun bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: “Rabbku menghinakanku.” (Al-Fajr: 15-16)

    Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Maksud ayat-ayat tersebut adalah tidak setiap orang yang Aku (Allah Subhanahu wa Ta’ala) beri kedudukan dan limpahan nikmat di dunia berarti Aku limpahkan keridhaan-Ku kepadanya. Hal itu hanyalah sebuah ujian dan cobaan dari-Ku untuknya. Dan tidaklah setiap orang yang Aku sempitkan rezekinya, Aku beri sekadar kebutuhan hidupnya tanpa ada kelebihan, berarti Aku menghinakannya. Namun Aku menguji hamba-Ku dengan kenikmatan-kenikmatan sebagaimana Aku mengujinya dengan berbagai musibah.” (Ijtima’ul Juyusy, hal. 9)

    Sehingga, dunia dan harta bisa menyebabkan pemiliknya selamat serta mulia di dunia dan akhirat, apabila dia mendapatkannya dengan cara yang diperbolehkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia juga mensyukurinya serta menunaikan hak-haknya sehingga tidak diperbudak oleh dunia dan harta tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

    لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالًا فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا

    “Tidak boleh iri kecuali kepada dua golongan: Orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan harta kepadanya lalu dia infakkan di jalan yang benar, serta orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan ilmu kepadanya lalu dia menunaikan konsekuensinya (mengamalkannya) dan mengajarkannya.” (Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)

    Dan demikianlah keadaan para sahabat dahulu. Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu menceritakan: Beberapa orang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

    يَا رَسُولَ اللهِ، ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالْأُجُورِ، يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ

    “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah mendahului kami untuk mendapatkan pahala. Mereka shalat sebagaimana kami shalat. Mereka juga berpuasa sebagaimana kami berpuasa. Namun mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka.” (HR. Muslim)

    Sebaliknya, orang yang tertipu dengan harta dan dunia sehingga dia diperbudak olehnya, dia akan celaka dan binasa di dunia maupun akhirat. Na’udzu billah min dzalik (Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari hal tersebut). Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperingatkan tentang hakikat harta dan dunia itu dalam firman-Nya:

    وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

    “Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (Ali Imran: 185)

    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

    مَا الْفَقْرُ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّي أَخْشَى أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا فَتُهْلِكُكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ

    “Bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan atas kalian. Namun aku khawatir akan dibentangkan dunia kepada kalian sebagaimana telah dibentangkan kepada orang-orang sebelum kalian, lalu kalian berlomba-lomba mendapatkannya sebagaimana orang-orang yang sebelum kalian, maka dunia itu akan membinasakan kalian sebagaimana dia telah membinasakan orang-orang yang sebelum kalian.” (Muttafaqun ‘alaih dari ‘Amr bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu)

    تَعِسَ عَبْدُ الدِّيْنَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ، إِنْ أُعْطِيَ رَضِي وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ

    “Celaka hamba dinar, dirham, qathifah, dan khamishah (keduanya adalah jenis pakaian). Bila dia diberi maka dia ridha. Namun bila tidak diberi dia tidak ridha.” (HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

    Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan kejahatan orang yang berilmu dan ahli ibadah dari kalangan ahli kitab yang telah diperbudak oleh harta dan dunia dalam firman-Nya:

    يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ

    “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.” (At-Taubah: 34)

    Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu menerangkan dalam tafsirnya: “Yang dimaksud ayat tersebut adalah peringatan dari para ulama su’ (orang yang berilmu tapi jahat) dan ahli ibadah yang sesat. Sebagaimana ucapan Suyfan ibnu Uyainah rahimahullahu: ‘Barangsiapa yang jahat dari kalangan orang yang berilmu di antara kita, berarti ada keserupaan dengan para pemuka Yahudi. Sedangkan barangsiapa yang sesat dari kalangan ahli ibadah kita, berarti ada keserupaan dengan para pendeta Nasrani. Di mana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang shahih: ‘Sungguh-sungguh ada di antara kalian perbuatan-perbuatan generasi sebelum kalian. Seperti bulu anak panah menyerupai bulu anak panah lainnya.’ Para sahabat radhiyallahu ‘anhum bertanya: ‘Apakah mereka orang Yahudi dan Nasrani?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Siapa lagi?’

    Dalam riwayat yang lain mereka bertanya: ‘Apakah mereka Persia dan Romawi?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Siapa lagi kalau bukan mereka?’

    Intinya adalah peringatan dari tasyabbuh (menyerupai) ucapan maupun perbuatan mereka. Oleh karena itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

    لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ

    “(Mereka) benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.” (At-Taubah: 34)

    Hal itu karena mereka memakan harta orang lain dengan kedok agama. Mereka mendapat keuntungan dan kedudukan di sisi umat, sebagaimana para pendeta Yahudi dan Nasrani mendapatkan hal-hal tersebut dari umatnya di masa jahiliah. Hingga ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka pun tetap berkeras di atas kejahatan, kesesatan, kekafiran, dan permusuhannya, disebabkan ambisi mereka terhadap kedudukan tersebut. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memadamkan kesesatan itu dengan cahaya kenabian sekaligus menggantikan kedudukan mereka degan kehinaan serta kerendahan. Dan mereka akan kembali menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala membawa kemurkaan-Nya.”

    Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah berkata: “Sungguh, ambisi terhadap dunia termasuk sebab yang menimbulkan berbagai macam fitnah pada generasi pertama. Telah terdapat riwayat yang shahih dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dalam Masa’il Al-Imam Ahmad (2/171), bahwa beliau radhiyallahu ‘anhuma berkata: Seorang dari Anshar datang kepadaku pada masa khalifah Utsman radhiyallahu ‘anhu. Dia berbicara denganku. Tiba-tiba dia menyuruhku untuk mencela Utsman radhiyallahu ‘anhu. Maka aku katakan: ‘Sungguh, demi Allah, kita tidak mengetahui bahwa Utsman membunuh suatu jiwa tanpa alasan yang benar. Dia juga tidak pernah melakukan dosa besar (zina) sedikitpun. Namun inti masalahnya adalah harta. Apabila dia memberikan harta tersebut kepadamu, niscaya engkau akan ridha. Sedangkan bila dia memberikan harta kepada saudara/kerabatnya, maka kalian marah.”

    Selanjutnya, Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah berkata: “Bila kalian arahkan pandangan ke tengah-tengah kaum muslimin, baik di zaman yang telah lalu maupun sekarang, niscaya engkau akan saksikan kebanyakan orang yang tergelincir dari jalan ini (al-haq) adalah karena tamak terhadap dunia dan kedudukan. Maka barangsiapa yang membuka pintu ini untuk dirinya niscaya dia akan berbolak-balik. Berubah-ubah prinsip agamanya dan akan menganggap remeh/ringan urusan agamanya. (Bidayatul Inhiraf, hal. 141)

    Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Setiap orang dari kalangan orang yang berilmu yang lebih memilih dunia dan berambisi untuk mendapatkannya, pasti dia akan berdusta atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam fatwanya, dalam hukum yang dia tetapkan, berita-berita yang dia sebarkan, serta konsekuensi-konsekuensi yang dia nyatakan. Karena hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala mayoritasnya menyelisihi ambisi manusia. Lebih-lebih ambisi orang yang tamak terhadap kedudukan dan orang yang diperbudak hawa nafsunya. Ambisi mereka tidak akan bisa mereka dapatkan dengan sempurna kecuali dengan menyelisihi kebenaran dan sering menolaknya. Apabila seorang yang berilmu atau hakim berambisi terhadap jabatan dan mempertuhankan hawa nafsunya, maka ambisi tersebut tidak akan didapatkan dengan sempurna kecuali dengan menolak kebenaran…

    Mereka pasti akan membuat-buat perkara yang baru dalam agama, disertai kejahatan-kejahatan dalam bermuamalah. Maka terkumpullah pada diri mereka dua perkara tersebut (kedustaan dan kejahatan).

    Sungguh, mengikuti hawa nafsu itu akan membutakan hati, sehingga tidak lagi bisa membedakan antara sunnah dengan bid’ah. Bahkan bisa terbalik, dia lihat yang bid’ah sebagai sunnah dan yang sunnah sebagai bid’ah. Inilah penyakit para ulama bila mereka lebih memilih dunia dan diperbudak oleh hawa nafsunya.” (Al-Fawaid, hal 243-244)

    اللَهُّمَ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ

    “Ya Allah, tampakkanlah kepada kami kebenaran itu sebagai kebenaran dan karuniakanlah kami untuk mengikutinya. Dan tampakkanlah kebatilan itu sebagai kebatilan dan karuniakanlah kami untuk menjauhinya.” Wallahu ‘alam bish-shawab.

    Read more…
  • Sikap Seorang Muslimah Terhadap Agamanya

    Oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullah

    Sesungguhnya seorang muslim-baik pria ataupun wanita-ketika masing-masing mereka menyatakan setia kepada Allah, juga menyatakan ridha bahwa Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, maka ia harus memberikan kepercayaan yang total dan sempurna kepada ajaran-ajaran Islam, sebab ajaran-ajaran tersebut bersumber dari Allah dan datang untuk kebahagiaan kaum pria ataupun wanita di dunia dan di akhirat.
    Allah telah berfirman (yang artinya):
    “Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiada lain ucapan: “Kami mendengar, dan kami patuh”. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (An-Nuur: 51)

    Oleh karena itu seorang wanita muslimah haruslah tunduk kepada ajaran dan hukum Islam yang datang untuk keagungan dan kemuliaannya, serta demi membela hak-haknya terhadap kaum pria, dan hak-hak yang sesuai dengan tabiat fitri yang telah Allah jadikan di dalam dirinya. Dan Allah lebih mengetahui tentang apa yang Dia ciptakan. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya):

    “Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?” (Al-Mulk: 14)

    Maka kalau kaum wanita mau mendengar dan menaati perintah Allah dan perintah Rasul-Nya, mereka akan mendapatkan kemenangan di dunia dan di akhirat.

    Al-Quran telah memberikan isyarat tentang bagaimana seorang muslimah bersikap terhadap agamanya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya):

    “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (Al-Ahzaab: 36)

    Dan Allah Ta’ala telah mengancam orang yang menyelisihi perintah Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
    فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيْبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيْبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ
    “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (An-Nuur: 63)

    Ibnu Katsir menjelaskan: “Maka orang-orang yang menyelisihi syari’at Rasulullah baik secara lahir maupun batin, hendaklah mereka itu khawatir dan takut  { أَنْ تُصِيْبَهُمْ فِتْنَةٌ }  (akan tertimpa fitnah), maksudnya fitnah yang menimpa hati-hati mereka berupa kekufuran, kemunafikan dan kebid’ahan. { أَوْ يُصِيْبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ }  (atau tertimpa azab yang menyakitkan), maksudnya azab di dunia dengan pembunuhan, penerapan hukuman hadd, hukuman penjara dan yang semisalnya.”
    (Disadur dari Takrimul Mar’ah fil Islam oleh tim redaksi Akhwat Shalihah)

    Read more…
  • Adab-Adab Berbicara Bagi Wanita Muslimah

    Wahai saudariku muslimah………

    1) Berhati-hatilah dari terlalu banyak berceloteh dan terlalu banyak berbicara, Allah Ta’ala berfirman:

    ” لا خير في كثير من نجواهم إلا من أمر بصدقة أو معروف أو إصلاح بين الناس ” (النساء: الآية 114).

    Artinya:

    “Dan tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia “. (An nisa:114)

    Dan ketahuilah wahai saudariku,semoga Allah ta’ala merahmatimu dan menunjukimu kepada jalan kebaikan, bahwa disana ada yang senantiasa mengamati dan mencatat perkataanmu.

    “عن اليمين وعن الشمال قعيد. ما يلفظ من قولٍ إلا لديه رقيب عتيد ” (ق: الآية 17-18)

    Artinya:

    “Seorang duduk disebelah kanan,dan yang lain duduk disebelah kiri.tiada satu ucapanpun yang diucapkan melainkan ada didekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” (Qaaf:17-18).

    Maka jadikanlah ucapanmu itu menjadi perkataan yang ringkas, jelas yang tidak bertele-tele yang dengannya akan memperpanjang pembicaraan.

    1) Bacalah Al qur’an karim dan bersemangatlah untuk menjadikan itu sebagai wirid keseharianmu, dan senantiasalah berusaha untuk menghafalkannya sesuai kesanggupanmu agar engkau bisa mendapatkan pahala yang besar dihari kiamat nanti.

    عن عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما- عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ” يقال لصاحب القرآن: اقرأ وارتق ورتّل كما كنت ترتّل في الدنيا فإن منزلتك عند آخر آية تقرؤها رواه أبو داود والترمذي

    Dari abdullah bin ‘umar radiyallohu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, beliau bersabda:

    dikatakan pada orang yang senang membaca alqur’an: bacalah dengan tartil sebagaimana engkau dulu sewaktu di dunia membacanya dengan tartil, karena sesungguhnya kedudukanmu adalah pada akhir ayat yang engkau baca.

    HR.abu daud dan attirmidzi

    2) Tidaklah terpuji jika engkau selalu menyampaikan setiap apa yang engkau dengarkan, karena kebiasaan ini akan menjatuhkan dirimu kedalam kedustaan.

    عن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ” كفى بالمرء كذباً أن يتحدّث بكل ما سمع “

    Dari Abu hurairah radiallahu ‘anhu,sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Cukuplah seseorang itu dikatakan sebagai pendusta ketika dia menyampaikan setiap apa yang dia dengarkan.”

    (HR.Muslim dan Abu Dawud)

    3) jauhilah dari sikap menyombongkan diri (berhias diri) dengan sesuatu yang tidak ada pada dirimu, dengan tujuan membanggakan diri dihadapan manusia.

    عن عائشة – رضي الله عنها- أن امرأة قالت: يا رسول الله، أقول إن زوجي أعطاني ما لم يعطني؟ قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ” المتشبّع بما لم يُعط كلابس ثوبي زور “.

    Dari aisyah radiyallohu ‘anha, ada seorang wanita yang mengatakan:wahai Rasulullah, aku mengatakan bahwa suamiku memberikan sesuatu kepadaku yang sebenarnya tidak diberikannya.berkata Rasulullah Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam,: orang yang merasa memiliki sesuatu yang ia tidak diberi, seperti orang yang memakai dua pakaian kedustaan.” (muttafaq alaihi)

    4) Sesungguhnya dzikrullah memberikan pengaruh yang kuat didalam kehidupan ruh seorang muslim, kejiwaannya, jasmaninya dan kehidupan masyarakatnya. maka bersemangatlah wahai saudariku muslimah untuk senantiasa berdzikir kepada Allah ta’ala, disetiap waktu dan keadaanmu. Allah ta’ala memuji hamba-hambanya yang mukhlis dalam firman-Nya:

    ” الذين يذكرون الله قياماً وقعوداً وعلى جنوبهم… ” (آل عمران: الآية 191).

    Artinya:

    “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring…” (Ali imran:191).

    5) Jika engkau hendak berbicara,maka jauhilah sifat merasa kagum dengan diri sendiri, sok fasih dan terlalu memaksakan diri dalam bertutur kata, sebab ini merupakan sifat yang sangat dibenci Rasulullah Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, dimana Beliau bersabda:

    ” وإن أبغضكم إليّ وأبعدكم مني مجلساً يوم القيامة الثرثارون والمتشدقون والمتفيهقون “.

    “sesungguhnya orang yang paling aku benci diantara kalian dan yang paling jauh majelisnya dariku pada hari kiamat : orang yang berlebihan dalam berbicara, sok fasih dengan ucapannya dan merasa ta’ajjub terhadap ucapannya.”

    (HR.Tirmidzi,Ibnu Hibban dan yang lainnya dari hadits Abu Tsa’labah Al-Khusyani radhiallahu anhu)

    6) Jauhilah dari terlalu banyak tertawa,terlalu banyak berbicara dan berceloteh.jadikanlah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, sebagai teladan bagimu, dimana beliau lebih banyak diam dan banyak berfikir beliau Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, menjauhkan diri dari terlalu banyak tertawa dan menyibukkan diri dengannya.bahkan jadikanlah setiap apa yang engkau ucapkan itu adalah perkataan yang mengandung kebaikan, dan jika tidak, maka diam itu lebih utama bagimu. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, bersabda:

    ” من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيراً أو ليصمت “.

    ” Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir,maka hendaknya dia berkata dengan perkataan yang baik,atau hendaknya dia diam.”

    (muttafaq alaihi dari hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu)

    8) jangan kalian memotong pembicaraan seseorang yang sedang berbicara atau membantahnya, atau meremehkan ucapannya. Bahkan jadilah pendengar yang baik dan itu lebih beradab bagimu, dan ketika harus membantahnya, maka jadikanlah bantahanmu dengan cara yang paling baik sebagai syi’ar kepribadianmu.

    9) berhati-hatilah dari suka mengolok-olok terhadap cara berbicara orang lain, seperti orang yang terbata-bata dalam berbicara atau seseorang yang kesulitan berbicara.Alah Ta’ala berfirman:

    ” يا أيها الذين آمنوا لا يسخر قوم من قوم عسى أن يكونوا خيراً منهم ولا نساء من نساء عسى أن يكن خيراً منهن ” (الحجرات: الآية 11).

    “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik.”

    (QS.Al-Hujurat:11)

    10) jika engkau mendengarkan bacaan Alqur’an, maka berhentilah dari berbicara, apapun yang engkau bicarakan, karena itu merupakan adab terhadap kalamullah dan juga sesuai dengan perintah-Nya, didalam firman-Nya:

    : ” وإذا قرىء القرآن فاستمعوا له وأنصتوا لعلكم ترحمون ” (الأعراف: الآية 204).

    Artinya: “dan apabila dibacakan Alqur’an,maka dengarkanlah dengan baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kalian diberi rahmat”. Qs.al a’raf :204

    11) bertakwalah kepada Allah wahai saudariku muslimah,bersihkanlah majelismu dari ghibah dan namimah (adu domba) sebagaimana yang Allah ‘azza wajalla perintahkan kepadamu untuk menjauhinya. bersemangatlah engkau untuk menjadikan didalam majelismu itu adalah perkataan-perkataan yang baik,dalam rangka menasehati,dan petunjuk kepada kebaikan. perkataan itu adalah sebuah perkara yang besar, berapa banyak dari perkataan seseorang yang dapat menyebabkan kemarahan dari Allah ‘azza wajalla dan menjatuhkan pelakunya kedalam jurang neraka. Didalam hadits Mu’adz radhiallahu anhu tatkala Beliau bertanya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam: apakah kami akan disiksa dengan apa yang kami ucapkan? Maka jawab Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda:

    ” ثكلتك أمك يا معاذ. وهل يكبّ الناس في النار على وجوههم إلا حصائدُ ألسنتهم ” ( رواه الترمذي).

    “engkau telah keliru wahai Mu’adz, tidaklah manusia dilemparkan ke Neraka diatas wajah-wajah mereka melainkan disebabkan oleh ucapan-ucapan mereka.”

    (HR.Tirmidzi,An-Nasaai dan Ibnu Majah)

    12- berhati-hatilah -semoga Allah menjagamu- dari menghadiri majelis yang buruk dan berbaur dengan para pelakunya, dan bersegeralah-semoga Allah menjagamu- menuju majelis yang penuh dengan keutamaan, kebaikan dan keberuntungan.

    13- jika engkau duduk sendiri dalam suatu majelis, atau bersama dengan sebagian saudarimu, maka senantiasalah untuk berdzikir mengingat Allah ‘azza wajalla dalam setiap keadaanmu sehingga engkau kembali dalam keadaan mendapatkan kebaikan dan mendapatkan pahala. Allah ‘azza wajalla berfirman:

    ” الذين يذكرون الله قياماً وقعوداً وعلى جنوبهم “. (آل عمران: الآية 191)

    Artinya: “(yaitu) orang – orang yang mengingat Allah sambil berdiri,atau duduk,atau dalam keadaan berbaring” (QS..ali ‘imran :191)

    14- jika engkau hendak berdiri keluar dari majelis, maka ingatlah untuk selalu mengucapkan:

    ” سبحانك الله وبحمدك أشهد أن لا إله إلا أنت، أستغفرك وأتوب إليك “.

    “maha suci Engkau ya Allah dan bagimu segala pujian,aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak untuk disembah kecuali Engkau, aku memohon ampun kepada-Mu, dan aku bertaubat kepada-Mu”

    Sehingga diampuni bagimu segala kesalahanmu di dalam majelis tersebut.

    Ditulis oleh: Haya Bintu Mubarak Al-Buraik

    Dari kitab: mausu’ah al-mar’ah al-muslimah: 31-34

    Read more…
  • Oleh: Asy-Syaikh Hasyim bin Hamid ‘Ajil Ar-Rifa’iy

    Hak-hak ini semua tidak terdapat dalam faham yang menamakan dirinya “faham modern”, yang menyerukan ‘Emansipasi Wanita’ itu. (Bahkan sebaliknya) mereka mengatakan bahwa Islam menghilangkan hak-hak wanita dan memenjarakannya di dalam rumah.

    Apakah karena Islam tidak menjadikan wanita sebagai dagangan murah yang bisa dinikmati setiap pandangan mata dan pemuas nafsu mereka yang bejat itu?

    Inikah kebebasan yang mereka kumandangkan? Dan inikah hak yang mereka tuntut?

    Sesungguhnya Islam menempatkan wanita di tempat yang sesuai pada tiga bidang:

    1. Bidang Kemanusiaan

    Islam mengakui haknya sebagai manusia dengan sempurna sama dengan pria. Umat-umat yang lampau mengingkari permasalahan ini.

    2. Bidang Sosial

    Telah terbuka lebar bagi mereka (terpisah dari kaum pria, pent) di segala jenjang pendidikan, di antara mereka menempati jabatan-jabatan penting dan terhormat dalam masyarakat sesuai dengan tingkatan usianya, masa kanak-kanak sampai usia lanjut. Bahkan semakin bertambah usianya, semakin bertambah pula hak-hak mereka, usia kanak-kanak; kemudian sebagai seorang isteri, sampai menjadi seorang ibu yang menginjak lansia, yang lebih membutuhkan cinta, kasih dan penghormatan.

    3. Bidang Hukum

    Islam memberikan pada wanita hak memiliki harta dengan sempurna dalam mempergunakannya tatkala sudah mencapai usia dewasa dan tidak ada seorang pun yang berkuasa atasnya baik ayah, suami, atau kepala keluarga.

    Hak-hak ini semua tidak terdapat dalam faham yang menamakan dirinya “faham modern”, yang menyerukan ‘Emansipasi Wanita’ itu. (Bahkan sebaliknya) mereka mengatakan bahwa Islam menghilangkan hak-hak wanita dan memenjarakannya di dalam rumah.

    Apakah karena Islam tidak menjadikan wanita sebagai dagangan murah yang bisa dinikmati setiap pandangan mata dan pemuas nafsu mereka yang bejat itu?

    Inikah kebebasan yang mereka kumandangkan? Dan inikah hak yang mereka tuntut? Apakah mereka menginginkan kita mengeluarkan puteri-puteri dan isteri-isteri kita ke jalan raya dengan pakaian telanjang, bercampur baur dengan kaum pria? Lalu di mana rasa cemburu terhadap kehormatan dan harga diri kita?

    Benarlah apa yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap mereka dan pendukung mereka, sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dan Imam Bukhari, dari Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘anhu:

    ” إن ما أدرك الناس من كلام النبوة الأولى , إذا لم تستح فاصنع ما شئت “

    “Sesungguhnya termasuk yang didapati manusia dari salah satu ucapan kenabian yang terdahulu adalah : jika kamu tidak mempunyai perasaan malu, maka berbuatlah semaumu.”

    Demi Allah! Yang demikian itu berarti terjerumus ke dalam rayuan dan ajakan Salibis yang dengki dan Zionis yang jahat.

    Tidaklah mereka itu, melainkan corong-corong yang berbunyi menurut perintah bos-nya dari Barat dan Timur, untuk menghancurkan kita dalam beragama Islam.

    Dan saya mengatakan dengan tegas, sesungguhnya mereka itu tidak menyerukan kebebasan dan hak-hak wanita, karena Allah Azza wa Jalla telah memberikan hak-hak mereka dengan sempurna, tetapi mereka – demi Allah – menyerukan kebebasan tubuh-tubuh wanita agar melanggar batas-batas akhlak yang utama dan adat istiadat yang baik, sehingga tersebarlah kerusakan dan kebejatan moral di muka bumi.

    Alangkah jauhnya angan-angan mereka, sementara di sana telah siap putera-putera yang telah bersumpah untuk menjadi tentara Allah yang jujur di jalan agama, untuk mengorbankan segala apa yang ada pada diri mereka.

    GUNAKAN HIJABMU WAHAI SAUDARIKU…..

    Di bawah ini keterangan bagaimana hijab yang syar’i, yang telah diperintahkan oleh Allah Azza wa Jalla padamu. jangan biarkan hijab anda seperti apa yang mereka kehendaki, dengan alasan cinta dan kasih sayang.

    Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menghendaki jilbab itu sebagai penutup tubuhmu dari pandangan matamata serigala, penjaga rasa malu, dan memelihara kehormatanmu. Karena itu, jangan anda campakkan rasa malu itu dengan menjauhi perintah-Nya, sebaliknya pegang teguhlah perintah itu, karena perasaan malu selalu membawa kepada kebaikan.

    Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari – Muslim dari “Imran bin Hushain Radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

    “Tidaklah rasa malu itu ada, kecuali selalu mendatangkan kebaikan.”

    Demikian juga Imam Hakim dan yang lainnya mengeluarkan hadits dari Ibnu Umar Radhiallahu anhuma, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

    “Perasaan malu dan iman itu selalu berdampingan, bila salah satunya hilang, hilanglah yang lainnya.”

    Maka peganglah dengan teguh perkara yang dapat membawa kebaikan dan mendekatkan diri anda kepada Allah Azza wa Jalla. Ketahuilah bahwa kehidupan di dunia ini adalah sementara, sedang kehidupan akhirat adalah kekal/selama-lamanya.jangan anda jual kenikmatan yang abadi itu dengan harta dunia yang sirna ini.

    Allah Subhanahu wa ta’ala, berfirman:

    وما الحياة الدنيا إلا لعب ولهو وللدار الآخرة خير للذين يتقون أفلا تعقلون

    “Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan sendau gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahami-nya?” (QS Al An’am: 32)

    Berikut ini sifat hijab yang syar’i, saya mohon kepada Allah Azza wa Jalla agar memberikan pertolongan kepada anda untuk memegang teguh padanya, dan menjadikan anda termasuk orang-orang yang mendengarkan nasehat dan mengikuti jalan yang baik.

    1. Hijab itu hendaknya menutupi seluruh badan, dari atas kepala, sampai di bawah mata kaki, kecuali bagian-bagian yang dikecualikan oleh syariat.
    Hendaknya jilbab itu luas dan longgar, sehingga tidak nampak bentuk tubuh dan anggota-anggota badan.
    Kain jilbab itu harus tebal, sehingga tidak menampakkan warna kulit atau yang lainnya.
    Tidak bersifat menghias tubuh yang menarik pandangan pria, karena tujuan jilbab itu sendiri adalah untuk menutupi keindahan tubuh.
    Tidak menyerupai pakaian pria.
    Tidak menyerupai pakaian wanita kafir.
    Tidak menyolok dan menarik pandangan orang.
    Tidak memakai pewangi atau minyak wangi yang tercium baunya.
    Demikianlah syarat-syarat jilbab yang Syar’i, yang masing-masing ada dalilnya baik dari Al Qur’an maupun Sunnah, dan sengaja tidak saya cantumkan supaya tidak terlalu panjang pembahasannya.

    Untuk lebih jelasnya, saya sarankan anda membaca dengan teliti kitab “Hijabul Mar’atul Muslimah menurut Al Qur’an dan As Sunnah” yang ditulis oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, semoga Allah memanjangkan umur beliau, karena banyak manfaatnya bagi kaum muslimin. (Beliau rahimahullah sudah wafat, semoga ruhnya ditempatkan bersama para syuhada dan shalihin, amin, pent).

    Read more…
    • Comments: 0
    • Tags:
  • WARNA UJIAN YANG SERING KITA TAK SABAR

    Saudaraku.. Abdurahman bin Auf ra pernah menyindir kita dengan ucapannya:

    “Dahulu saat kami menyertai Rasulullah saw, kami diuji dengan kesusahan dan kami sabar. Lalu sepeninggal beliau kami diuji dengan kesenangan, ternyata kami tak sabar.” (Mawa’izh as shahabah, Shalih Ahmad al Syami).

    Saudaraku.. Dunia disebut dengan darul bala’, tempat ujian atau ladan

    g tempat menanam amal dan bakti. Sedangkan akherat diistilahkan dengan darul jaza’, tempat memanen hasil atau memetik buah balasan.

    Artinya, kenikmatan dan bencana. Kelapangan dan kesempitan. Kebahagiaan dan kesusahan. Kesuksesan dan kegagalan. Kekayaan dan kemiskinan. Sehat dan sakit. Senyuman dan tangisan. Kejayaan dan keterpurukan. Kemudahan dan kesulitan. Berseri dalam keluarga dan nyeri dalam kesendirian. Dan seterusnya. Itu semua pada hakikatnya merupakan warna dari ujian Allah swt atas kita.

    Di mana bila kita salah dalam mensikapi kedua kondisi dan keadaan yang pasti pernah kita alami itu, akan berakibat fatal di sini, di dunia ini. Apalagi di sana, di akherat sana. Maka memandang persoalan hidup dengan kaca mata iman dan hati, merupakan awal dari kisah panjang kesuksesan kita.

    Namun saudaraku.. Pengalaman mengajari kita, tidak sedikit orang yang sadar bahwa ia sedang diuji oleh-Nya saat ia jatuh miskin, usaha bangkrut, jodoh idaman menjauh, gagal menjadi wakil rakyat, sakit kronis merongrong tubuh, kepergian orang-orang dekat, kesempitan akrab menyapa diri dan seterusnya.

    Tapi jarang di antara kita yang menyadari bahwa kenikmatan hidup dan kelapangan yang Dia karuniakan kepada kita berupa kesuksesan meraih harapan dan cita-cita, kesehatan yang setia menemani kita, karir yang terus melejit, kekayaan yang menyerikan pandangan dan seterusnya. Itu merupakan ujian yang sering kita tidak sabar menghadapinya. Membuat kita lupa untuk mensyukuri karunia-Nya.

    Dan inilah yang pernah digaris bawahi oleh sahabat agung Abdurahman bin Auf, sahabat terkaya di zaman Nabi saw.

    Jika hal itu dirasakan oleh para sahabat, tentu kita harus lebih waspada menghadapi ujian yang sering melenakan kita ini.

    Mudah-mudahan kita selalu sadar dengan dua model ujian ini. Dan semoga kita sabar dalam menghadapi model ujian apapun di dunia ini.

    Tentunya dengan bimbingan dan penjagaan dari Allah swt. Wallahu a’lam bishawab.

    Sumber : InspirasiIslam

    Read more…
  • Saudaraku..Pagi itu, suasana begitu sejuk. Semilir angin sepoi-sepoi menyapa wajah. Ali bin Abi Thalib ra, khalifah kaum muslimin ke empat memanggil anaknya; Hasan ra lalu dengan penuh kasih sayang ia menasihati anaknya:

    “Wahai anakku, intisari agama ini adalah berinteraksi dengan orang-orang yang bertakwa.

    Kesempurnaan ikhlas dib

    uktikan dengan menjauhi semua perkara yang diharamkan-Nya.

    Sebaik-baiknya ucapan, adalah ucapan yang diiringi dengan perilaku (keteladanan).

    Terimalah orang yang mengajukan uzur (alasan) kepadamu.

    Maafkan orang yang meminta maaf kepadamu.

    Taatilah saudaramu (dalam ketaatan), meskipun ia sering bermaksiat kepadamu.

    Dan hubungkan tali silaturahim dengannya, walaupun ia sering memutuskan tali persaudaraan denganmu.”(Mawa’izh as shahabah, Shalih Ahmad al Syami).

    Saudaraku…Nasihat Ali bin Thalib ra kepada Hasan puteranya, menjadi pelajaran berharga bagi kita para orang tua dalam mendidik anak-anak kita.

    • Anak-anak adalah tali cinta. Kebahagiaan sebuah keluarga akan semakin membuncah dengan kehadiran sang buah hati. Tak jarang sebuah keluarga dilanda kebosanan, kapal cinta menjadi oleng lantaran pujaan hati yang didamba tak kunjung hadir meramaikan dan menyerikan biduk keluarga. Sebagai tanda syukur atas karunia besar ini, kita berkewajiban merawat amanah Allah swt ini dan mendidiknya dengan nilai pendidikan yang Dia kehendaki.

    • Nilai nasihat akan masuk ke dalam hati, jika ia memantul dari hati. Disampaikan dengan hati-hati. Memancar dari kelembutan hati dan cinta. Sebaliknya, nilai pengajaran akan membuat anak menjadi kurang ajar, jika disampaikan dengan kata-kata yang tak sabar. Memantul dari wajah yang kasar. Sebaik dan sebenar apapun nasihat itu.

    • Kisah ini memberikan keteladanan bagi kita, demikianlah seharusnya hubungan orang tua dengan anaknya. Ada kedekatan di sana. Ada keakraban. Ada hubungan emosional. Ada sapaan kasih. Ada teguran cinta. Walau sesibuk dan sepadat apapun aktifitas rutin keseharian kita.

    • Orang yang memahami dien dengan baik, tampak dari kedekatan dan interaksinya dengan orang lain. Orang yang menjadikan orang-orang dekatnya dan teman pergaulannya adalah orang shalih dan bertakwa, maka ia termasuk golongan mereka. Begitupun sebaliknya, sulit kita mempercayai kwalitas agama seseorang, jika teman pergaulannya adalah orang-orang yang memiliki masalah mental dan buruk perangainya.

    • Membentengi diri kita, keluarga dan generasi kita dari hal-hal yang diharamkan, merupakan bukti keikhlasan kita dalam mentaati rambu-rambu-Nya. Bagi orang tua, mendidik anak-anak untuk senantiasa menjaga nilai sebuah keikhlasan dalam beramal merupakan suatu kelaziman.

    • Keteladanan merupakan syarat kedekatan dan kecintaan masyarakat kepada kita. Terlebih jika kita menjadi publik figur, ustadz, orang yang berkedudukan, orang tua apatah lagi sebagai pemimpin dalam masyarakat. Pandai merangkai kata-kata dan indah dalam bertutur kata, tanpa diimbangi dengan keteladanan, maka kita akan gagal meraih hati dan simpati mereka.

    • Kebesaran hati tampak dari ‘salamatus shadr’; lapang dada. Dengan dada yang lapang, maka kita mudah menerima uzur, memaafkan kekhilafan, keteledoran dan kesalahan orang lain. Orang yang melihat dunia-nya sempit, pengap dan gelap, berarti ia tidak memiliki kelapangan dada. Sejatinya, kitalah yang dapat menciptakan dunia dalam hidup kita. Kita ingin dunia kita menjadi luas atau sempit.

    • Ukhuwah (persaudaraan iman) yang tulus suci, melahirkan kesetiaan yang abadi. Keringnya ukhuwah orang lain terhadap kita yang ditandai dengan kurangnya komunikasi dan sedikitnya kadar kunjungan. Atau terkadang kata-kata yang terucap dari bibirnya sering melukai perasaan kita. Sikapnya yang membuat ketenangan kita terusik. Dan yang senada dengan itu. Jika sudah demikian, kembalikan akar persoalan pada diri kita. Barangkali, kita kurang arif dan aktif dalam menyirami ladang ukhuwah kita dengan air iman, jarang kita taburi pupuk perhatian dan cinta. Dan seterusnya.

    Saudaraku..Sudahkah kita mendidik anak-anak kita dengan kelembutan hati dan cinta? Dan sudahkah kita tanamkan nilai-nilai luhur terhadap anak-anak kita, yang pernah ditanamkan Ali bin Abi Thalib ra terhadap anaknya Hasan?. Mari kita teladani kehidupan salafus shalih. Karena di sana ada keberuntungan dan kesuksesan. Wallahu a’lam bishawab.

    Read more…
RSS
Email me when there are new items –
Live Support